Kita cenderung bereaksi cepat terhadap kabar yang menyentuh emosi. Kabar meninggalnya tokoh agama, misalnya, sering kali memicu rasa kehilangan, duka, dan simpati. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh penyebar hoaks untuk mendapatkan atensi.
Ada tiga faktor utama mengapa berita seperti ini mudah viral:
- Emosi Kolektif: Publik merasa dekat dengan figur publik yang berperan dalam kehidupan spiritual mereka.
- Kecepatan Media Sosial: Sekali klik “bagikan”, informasi langsung menyebar ke ratusan bahkan ribuan orang.
- Kurangnya Verifikasi: Banyak pengguna internet belum terbiasa melakukan cek fakta sebelum menyebarkan informasi.
Hal ini menjadi pengingat bahwa literasi digital bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau media, melainkan juga masyarakat sebagai pengguna aktif.
Dampak Negatif Disinformasi
Disinformasi seperti ini tidak bisa dianggap remeh. Ada beberapa dampak yang bisa muncul:
- Kebingungan Publik
Masyarakat menjadi bingung membedakan mana kabar yang benar dan mana yang salah. - Pencemaran Nama Baik
Tokoh publik yang menjadi sasaran bisa mengalami tekanan psikologis akibat kabar palsu. - Hilangnya Kepercayaan
Jika hoaks terus terjadi, publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap media sosial dan bahkan media massa. - Gangguan Sosial
Penyebaran kabar duka yang tidak benar dapat menimbulkan kepanikan dan keresahan, terutama bagi pengikut atau jamaah yang jumlahnya besar.
Literasi Digital: Cara Mengenali Hoaks
Agar tidak mudah terjebak dalam kabar palsu, ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan masyarakat:
- Periksa Sumber Asli: Pastikan informasi berasal dari media kredibel atau akun resmi tokoh terkait.
- Gunakan Cek Fakta: Manfaatkan situs cek fakta seperti Jalahoaks, CekFakta, atau fitur Google Search.
- Perhatikan Tanggal: Banyak hoaks menggunakan foto lama untuk narasi baru.
- Waspadai Judul Sensasional: Informasi dengan judul berlebihan biasanya bertujuan menarik emosi, bukan menyajikan fakta.
Baca Juga: Mau Investasi Logam Mulia Galeri 24 Pegadaian? Simak Dulu Kelebihan dan Kekurangannya
Pelajaran dari Kasus Yusuf Mansur
Kasus disinformasi mengenai Yusuf Mansur ini memberi pelajaran penting bagi kita:
- Kritis terhadap Informasi
Jangan buru-buru percaya hanya karena kabar datang dari teman dekat atau grup WhatsApp keluarga. - Pentingnya Akun Resmi
Tokoh publik perlu aktif di kanal resmi agar bisa segera meluruskan kabar keliru. - Tanggung Jawab Kolektif
Melawan hoaks adalah tanggung jawab bersama. Masyarakat bisa berperan aktif dengan tidak menyebarkan kabar yang belum terverifikasi.
Kabar mengenai meninggalnya Ustaz Yusuf Mansur pada Maret 2025 adalah tidak benar. Fakta menunjukkan bahwa foto yang beredar merupakan dokumentasi lama ketika beliau dirawat di rumah sakit pada 2021. Hingga akhir Maret 2025, Yusuf Mansur masih aktif di media sosial dan tidak ada rilis resmi mengenai kabar duka.
Kasus ini menjadi cermin betapa pentingnya literasi digital di era informasi. Dengan kebiasaan cek fakta, masyarakat dapat mengurangi penyebaran hoaks dan menciptakan ekosistem informasi yang lebih sehat.