POSKOTA.CO.ID – Sejarawan Indonesia, Anhar Gonggong, menilai bahwa pola feodalisme masih mengakar dalam birokrasi maupun kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Ia menegaskan, praktik feodalistik dan kolonialistik tidak hanya terlihat pada perilaku elite, tetapi juga berhubungan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat.
“Kalau itu (feodalisme) dalam batas tertentu ada benarnya,” kata Anhar ketika ditanya mengenai pandangan bahwa Indonesia masih menerapkan sistem feodalistik. “Orang selalu ya, korupsi bukan sesuatu yang aneh dalam masyarakat kolonialistis dan masyarakat feodalistik. Tidak ada raja yang tidak korup. Tidak ada pemerintah kolonial yang tidak korup,” lanjutnya, dikutip dari kanal YouTube Anhar Gonggong Official.
Menurutnya, praktik korupsi hingga kini justru lebih banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki kedudukan dan akses kekuasaan.
“Yang korup itu ya memang orang yang punya kesempatan dan orang yang punya duit. Mana bisa korupsi tukang ojek? Yang bisa korupsi itu adalah kepala sekolah. Artinya ada kedudukannya. Kedudukan itu yang membuka ruang bagi dia untuk korup kalau dia tidak punya hati nurani,” ujarnya.
Anhar juga menyoroti budaya feodal dalam birokrasi yang masih kuat.
“Lihat saja di berbagai tempat, cara bergaul kita masih feodalistis kok. Kelihatan di dalam birokrasi kita kan sebagian besar masih feodalistik. Kita datang masih bungkuk-bungkuk segala macam,” katanya.
Ia menambahkan, rendahnya tingkat pendidikan menjadi hambatan dalam membangun sikap demokratis di masyarakat.
Baca Juga: Hari Konstitusi 18 Agustus, Pengamat Ingatkan Pentingnya Evaluasi Sistem Politik
“Bagaimana Anda mau mengajak mereka menjadi demokrat? Ada satu pidato pengukuhan profesor yang mengatakan bahwa kita baru bisa menjadi demokratis kalau penghasilan rakyat kita 14 juta per bulan. Kapan 14 juta bagi rakyat? Jangankan membayangkannya saja susah,” tutur Anhar.
Fenomena sosial seperti judi daring (judol) dan perjudian tradisional, menurutnya, juga mencerminkan persoalan psikologis masyarakat yang masih rentan.
“Mereka yang terima bansos akhirnya judol. Ada persoalan psikologi orang miskin. Dia dikasih sedikit, ada ruang di mana membayangkan bisa mendapatkan banyak,” kata Anhar.
Ia menyebutkan, pola pikir masyarakat masih terpengaruh warisan kolonialisme. “Memang iya. Dalam arti bahwa hal-hal tertentu daripada sikap kita, kita masih bersikap rakyat jajahan, bersikap rakyat feodalistik. Itu fakta kok. Sehari-hari kamu bisa lihat,” ujarnya.
Anhar menekankan pentingnya pendidikan sebagai jalan keluar. “Ini yang harus pemerintah lewat departemen pendidikan harus berusaha bagaimana memasukkan hal-hal yang bersifat demokratis itu di kalangan pendidik.
Kalau tidak, bullying dan masalah sosial lainnya akan terus berkembang dan tidak akan membuat kita lebih baik,” kata dia.