Sutradara Hanung Bramantyo ikut berkomentar, menyindir bahwa dengan biaya sebesar itu seharusnya hasil akhirnya bisa jauh lebih layak.
Tak hanya itu, kontroversi dari film ini tak berenti dari kualitas dan anggaran yang fantanstis. Isu lain yang memperburuk reputasi film ini adalah tuduhan penggunaan aset animasi digital tanpa izin.
Sejumlah kreator menyebut beberapa karakter dan latar yang muncul di film diambil dari platform seperti Daz3D tanpa modifikasi memadai. Bahkan, seorang kreator asal Pakistan mengklaim enam karakternya digunakan tanpa persetujuan.
Baca Juga: Sambut HUT RI ke-80, Polwan di Depok Bagikan Ratusan Bendera Merah Putih ke Pengendara
Toto Soegriwo sebagai produser melalui media sosial bukannya meredakan kritik, melainkan menambah kontroversi. Ia malah menulis, “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain.”
Kalimat tersebut dianggap meremehkan kritik publik. Di sisi lain, isu dugaan pendanaan dari pemerintah juga sempat ramai diperbincangkan.
Namun, Wamenparekraf membantah kabar itu dan menegaskan bahwa kementerian hanya memberi masukan, tanpa bantuan dana produksi.
Baca Juga: Viral di Medsos, Film Merah Putih: One For All Batal Tayang di Bioskop Cinepolis
Fenomena Perfilman Indonesia
Dengan segala kontroversinya, capaian 720 penonton di hari pertama tetap dianggap “luar dugaan”. Banyak pihak menilai rasa penasaran publik menjadi faktor utama angka tersebut.
“Mungkin 720 orang itu ingin tahu seperti apa rasanya menonton film yang bikin satu negeri ribut,” kata netizen.
Film Merah Putih One for All kini resmi tercatat sebagai salah satu fenomena unik dalam dunia perfilman Indonesia karena menimbulkan cibiran, perdebatan namun tetap mengundang penonton.