"Mereka terlihat effortless dan estetik, tapi juga tampak seperti tahu persis citra seperti apa yang ingin mereka tampilkan ke publik."
- Sering Bicara tentang Feminisme dan Isu Sosial
Mereka aktif membicarakan kesetaraan gender, kesehatan mental, atau hak perempuan. Namun, pembahasannya sering surface-level dan tidak berkembang dalam diskusi mendalam.
- Suka Matcha, Clairo, dan Buku Filosofi
Musik favorit mereka cenderung mellow seperti Laufey atau Clairo, sementara bacaan mereka didominasi buku feminisme dan sastra klasik. Minuman andalan? Matcha latte yang manis namun tetap terkesan fancy.
- Cepat Membuat Kamu Nyaman (Tapi Terlalu Sempurna)
Salah satu cirinya adalah kemampuannya menciptakan safe space dengan cepat. "Ia tahu bagaimana membuat kamu merasa spesial, dipahami, dan didengarkan." Namun, kedekatan itu sering terasa terlalu calculated.
- Aktif di Media Sosial dengan Persona "Peka dan Estetik"
Mereka kerap membagikan konten tentang kesadaran diri, kesehatan mental, atau puisi pendek yang relatable. "Kontennya terlihat peka dan well-curated."
Baca Juga: Arti FR dalam bahasa gaul TikTok? Begini Strategi Penggunaannya untuk FYP
Refleksi: Performative atau Authentic?
Tren ini memicu diskusi: apakah performative male benar-benar peduli pada isu yang dibicarakan, atau sekadar membangun citra?
Tren performative male memunculkan pertanyaan penting tentang ekspresi diri di era digital: sejauh mana yang kita lihat di media sosial mencerminkan nilai asli seseorang? Fenomena ini mengajak kita untuk lebih kritis dalam membedakan antara ketulusan dan performa belaka.
Bagaimana pun, kesadaran akan isu sosial tetaplah hal yang positif. Namun, "Bukan hanya dari apa yang mereka tunjukkan, tapi juga dari siapa mereka sebenarnya" menjadi pengingat bahwa nilai seseorang tak seharusnya diukur dari seberapa estetik atau 'woke' penampilannya. Kamu sendiri, pernah bertemu dengan sosok seperti ini?