POSKOTA.CO.ID – Pernyataan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang menyebut Partai Gerindra dan PDIP sebagai “kakak adik” dinilai sebagai upaya untuk menekankan pentingnya oposisi dalam sistem demokrasi.
Hal ini disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, dalam analisis terbarunya mengenai arah politik pasca-Pemilu 2024.
Adi menyebut bahwa pernyataan Prabowo telah memunculkan beragam tafsir di ruang publik.
“Inilah yang saya kira membuat kenapa pernyataan Prabowo begitu banyak diperbincangkan dan tentu saja begitu banyak telah melahirkan tafsir-tafsir yang saya kira sehari dua hari ini cukup banyak berseliweran di media,” ujar Adi, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Adi Prayitno Official pada Rabu, 23 Juli 2025.
Baca Juga: Tarif Trump Jadi 19 Persen, Prabowo Subianto Belum Puas: Kalau Puas Ya Nol Persen
Lebih lanjut, ia menilai bahwa Prabowo ingin menegaskan bahwa hubungan antarpartai di Indonesia pada umumnya tidak dilandasi oleh permusuhan ideologis yang tajam.
Bahkan, kerja sama antara partai yang sebelumnya berseberangan secara politik telah menjadi hal lumrah.
“Misalnya, dulu kita membayangkan PDIP dan Golkar tidak akan pernah berkongsi, tapi nyatanya dalam Pilpres dan Pilkada mereka bekerja sama,” katanya.
Menurut Adi, korespondensi historis antara PDIP dan Gerindra juga menjadi dasar dari pernyataan Prabowo. Ia mencontohkan kerja sama pada Pemilu 2009, ketika Prabowo berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri sebagai calon wakil presiden.
Baca Juga: Daftar 10 Wilayah dengan UMK Terendah Meski Upah Minimum Naik Era Prabowo
“Sekalipun di 2024 PDIP dan Gerindra saling berhadap-hadapan, sebenarnya setelah pemilu selesai saatnya bekerja sama, menghilangkan friksi,” tambahnya.
Dalam kerangka demokrasi modern, Adi menilai pentingnya oposisi sebagai mitra kritis yang menjaga mekanisme check and balances dalam pemerintahan.
“Kalau mengacu pada demokrasi di Barat, sekalipun Gerindra dan PDIP itu kakak beradik, harus ada yang berada di luar kekuasaan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa partai politik yang kalah dalam pemilu seharusnya memilih berada di luar kekuasaan. “Yang menang jadi penguasa, yang kalah jadi oposisi. Tidak perlu menyorong-nyorongkan diri menjadi bagian dari koalisi,” jelas Adi.
Baca Juga: Tinjau Uji Coba Sekolah Rakyat di Bekasi, Mensos: Ini Program Prioritas Presiden Prabowo
Dalam praktiknya, lanjut Adi, Indonesia justru cenderung mengadopsi model demokrasi gotong royong, di mana partai-partai politik yang kalah pun dirangkul untuk masuk dalam kekuasaan. Hal ini menurutnya menjadi salah satu penyebab Indonesia mengalami gejala backsliding democracy.
“Apa indikasinya? Karena semua kelompok, termasuk civil society dan partai politik, tidak ada yang berani berada di luar kekuasaan,” paparnya.
Adi mengutip pandangan Marcus Misner yang menyebutkan bahaya stabilitas politik tanpa oposisi. “Kalau semua sudah bekerja sama menjadi bagian dari kekuasaan pemenang, lalu siapa yang akan mengkritik?” ungkapnya.
Baca Juga: Presiden Prabowo Tunjuk Gibran Tangani Papua, Diminta Berkantor di Sana
Meski menyadari bahwa stabilitas politik sering dijadikan alasan untuk merangkul semua pihak, Adi menekankan bahwa dalam demokrasi sehat, keberadaan oposisi yang kritis sangatlah penting.
“Koalisi itu bisa dilakukan dari luar dengan cara konstruktif. Katakan kalau itu benar, benar. Katakan kalau itu salah, ya salah,” tandasnya.
Sebagai penutup, Adi menyampaikan bahwa sikap politik seharusnya tidak bergantung pada kedekatan atau persahabatan semata. “Boleh berteman, bersahabat, mengaku kakak-adik, tapi kalau kalah, di luar saja,” katanya.
Pernyataan ini, menurut Adi, merupakan pengingat penting bagi demokrasi Indonesia agar tetap sehat dan tidak kehilangan fungsi kontrol terhadap kekuasaan.