Oleh Prof. Yudhie Haryono, Ph.D
Jika kita warisi arsitektur ekonomi kolonial, apa yang harus dilakukan? Inilah pertanyaan paling penting di negara postkolonial. Mengapa? Karena kemerdekaan paling fundamental adalah kemerdekaan ekonomi. Dari jawabannya, kita akan tahu di mana posisi pemikiran ekonom tersebut.
Kita tahu, warisan ekonomi kolonial adalah individualisme, ketamakan, dominasi, persaingan, predatorian, utang jumbo, defisit anggaran, ketimpangan dan kesenjangan. Di masa kini dipersingkat menjadi privatisasi, deregulasi dan denasionalisasi. Tiga azimat sakti yang meneguhkan kemenangan pasar bebas. Pasar yang melahirkan konglomerasi dan oligarki.
Tentu saja, karena ini negara pancasila, maka sistem ekonomi pancasilalah jawabannya. Tetapi, bagaimana operasionalnya? Mari kita urai satu persatu hal pelik ini.
Baca Juga: Timothy Ronald Bongkar 4 Rahasia Kaya, Ternyata Bukan Sekadar Hemat
Sesungguhnya, di masa kini ekonomi politik pancasila itu lima: menata ulang kekuasaan, untuk menegakkan keadilan, agar terjadi kedaulatan, kesentosaan dan kemartabatan, terjadilah tradisi bersih, cepat dan tepat dalam segala hal, sehingga harga diri bangsa kembali tegak.
Tetapi itu tidak mudah. Hal itu karena warisan kekuasaan yang tak pernah bersih, sumber dayanya (SDA dan SDM) telah dirampas oleh oligarki, banjir kemiskinan terus terjadi, pengangguran dan tradisi KKN tak pernah surut, utang terus menggunung, stagflasi, likuiditas kering kerontang, fundamental ekonominya hancur, sehingga APBN sudah terlalu sempit untuk merealisasikan janji program.
Kekayaan para konglomerat tidak tak terbantahkan. Kapital para oligark tidak tak terhitung peningkatan dan kelipatannya. Rata-rata oligarki teratas di Indonesia memiliki sekitar 570.988 kali lipat dari kekuatan kekayaan warga negara rata-rata pada 2010. Lalu, meningkat menjadi 759.420 kali pada tahun 2020. Ini ada peningkatan 33 persen.
Itu artinya, akumulasi kekayaan para oligark meningkat jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan perekonomian nasional. Akibatnya, daya cengkeram mereka tidak tak terbatas, bahkan mampu membuat negara menjadi swasta.
Baca Juga: Obrolan Warteg: Jungkir Balik demi Anak
Dengan komposisi arsitektur ekonomi yang seperti itu, jalan satu-satunya adalah kembali menjalankan sistem ekonomi politik pancasila yang bergerak serempak melakukan nasionalisasi, restrukturisasi dan redistribusi. Inilah tiga jurus yang tidak bisa tidak harus dikerjakan segera dan secepatnya.
Nasionalisasi (aset strategis) adalah program negara mengambil alih kepemilikan atas aset-aset penting yang dianggap vital bagi kepentingan negara. Misalnya, sumber daya alam, fasilitas kepentingan umum, perusahaan strategis, dari pihak swasta atau asing menjadi milik kita. Tujuannya tentu untuk memantapkan ekonomi nasional, mengurangi ketergantungan pada pihak asing serta memenuhi kepentingan negara agar berdaulat.
Setelah itu, program lanjutannya adalah restrukturisasi aset nasional. Ini adalah perubahan struktur kepemilikan modal (struktur keuangan) dan agensi (BOD) untuk meningkatkan kesehatan keuangan, menghapus KKN, dan meningkatkan nilainya. Hal ini dilakukan dengan cara: penggabungan, akuisisi, penghapusan utang, peningkatan ekuitas, dan penjualan aset yang tidak produktif.
Restrukturisasi sangat berguna untuk meningkatkan kinerja, meningkatkan nilainya, dan meningkatkan daya guna serta merubah tradisinya: dari kepentingan asing ke kepentingan nasional.
Baca Juga: Link Cek Penerima BSU Rp600.000 di PosPay, Ini Tanda Jika Dapat Bantuan
Setelah itu, kita harus melakukan redistribusi aset nasional. Ini merupakan proses kontrol dan pembagian atas aset-aset nasional dari satu kelompok atau entitas tertentu para konglomerat dan oligarki ke Koperasi, BUMN dan lembaga ekonomi rakyat lainnya.
Dengan melakukan program redistribusi aset nasional, sesungguhnya kita sedang menghapus kesenjangan dan ketimpangan ekonomi; sehingga meningkatkan kesejahteraan sosial; sekaligus meningkatkan keadilan ekonomi.
Dus, redistribusi ini pasti membantu meningkatkan keadilan ekonomi dengan mengurangi konsentrasi kekayaan dan kekuasaan pada konglomerasi dan oligarki menjadi milik negara dan milik semua warga-negara. Semoga kita berani. (Red)