JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth, meminta pemerintah melakukan kajian lebih mendalam sebelum memutuskan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, tarif iuran BPJS Kesehatan kemungkinan bakal mengalami penyesuaian pada tahun 2026.
Menurut Hardiyanto Kenneth, kajian mendalam dibutuhkan agar kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak membebani masyarakat, khususnya warga berpenghasilan rendah.
"Kami memahami tantangan pembiayaan BPJS Kesehatan, tetapi jangan sampai masyarakat menjadi korban," ujar Kenneth kepada awak media, Senin, 21 Juli 2025.
"Jika iuran naik, maka layanan harus ikut membaik. Jangan hanya membuat suatu program yang ujung-ujungnya malah membebani rakyat tanpa ada perbaikan yang nyata," ujarnya.
Kenneth mengatakan, warga Jakarta, terutama peserta mandiri kelas menengah ke bawah, bisa terdampak signifikan jika tidak ada skema subsidi atau kompensasi yang jelas dari pemerintah.
"Peserta BPJS mandiri yang pasti akan merasakan dampak langsung, terutama bagi kelas pekerja informal atau keluarga dengan penghasilan pas-pasan," katanya.
"Biaya kesehatan yang semula terjangkau bisa menjadi beban baru dalam pengeluaran bulanan," ujar Kenneth.
Baca Juga: Cara Daftar Bansos KIS Juli 2025, Ini Syarat Dapat Subsidi BPJS Kesehatan
Kenneth menyebut, dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, banyak peserta aktif yang akan berhenti karena terbebani dengan kenaikan tersebut.
"Masyarakat yang merasa terbebani bisa menunggak iuran atau bahkan berhenti sebagai peserta aktif," jelasnya.
"Hal ini justru akan mengurangi kepesertaan aktif dan memperburuk rasio iuran terhadap klaim BPJS Kesehatan," kata Kenneth.
Hardiyanto Kenneth mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus ikut bersuara dan bersikap dalam pembahasan kebijakan nasional ini.
Mengingat, kata dia, Jakarta memiliki jumlah peserta JKN yang sangat besar, termasuk yang ditanggung dalam skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Perlu adanya pembicaraan serius antar Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat soal ini dan juga harus dipikirkan terkait dampak fiskalnya juga," ujar Kenneth.
Selain itu, Kenneth juga meminta BPJS Kesehatan untuk lebih transparan dalam menyampaikan kondisi keuangan, termasuk penggunaan dana dan efisiensi operasional.
Menurutnya, keterbukaan ini penting agar publik tidak curiga bahwa kenaikan iuran hanya disebabkan oleh buruknya tata kelola.
"Sebelum kebijakan ini diputuskan, DPRD DKI akan mendorong adanya forum dengar pendapat dengan pihak BPJS Kesehatan, Kemenkes, dan stakeholder lainnya. Kami ingin ada kejelasan dan kepastian hukum yang melindungi Hak Warga Jakarta," kata Kenneth.
Baca Juga: Warga Keluhkan Layanan Kesehatan Kilat BPJS: Enggak Sampai 5 Menit
Kenneth menyebut, dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), keberlangsungan pelayanan kesehatan sangat bergantung pada kemitraan yang baik antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit.
"Jika BPJS Kesehatan mengabaikan peran rumah sakit, maka yang akan dirugikan bukan hanya institusi kesehatan, tetapi juga ratusan juta rakyat Indonesia yang menggantungkan harapan pada sistem JKN," ucap Kenneth.
Selain itu, dia meminta BPJS Kesehatan untuk lebih aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana kenaikan iuran JKN.
"Kalau iuran naik tanpa sosialisasi yang cukup, masyarakat bisa merasa dibebani tanpa tahu alasannya. Ini bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap program jaminan sosial itu sendiri," kata Kenneth.
Kenneth menyebut, Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menjadi beban baru, tetapi justru menjadi langkah menuju sistem jaminan kesehatan yang lebih kuat, transparan, dan berkelanjutan.
"Masyarakat tidak menolak membayar lebih, asalkan dibarengi dengan layanan yang lebih baik, sistem yang lebih adil, dan kebijakan yang berpihak pada Rakyat Kecil. Suara warga Jakarta harus menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan," ujar Kenneth.
"Kenaikan iuran tidak boleh sekadar hitung-hitungan fiskal, tapi harus menjadi cerminan dari keberpihakan negara terhadap hak dasar rakyat yang memang juga di atur di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat 1, yaitu kesehatan yang layak untuk semua warga negara," lanjutnya.
Sebagai informasi, hingga saat ini pemerintah pusat belum mengumumkan secara resmi besaran kenaikan iuran maupun waktu pasti pemberlakuannya. Peraturan Presiden (Perpres) baru yang akan menjadi dasar hukum perubahan iuran masih dalam proses finalisasi. (CR-4)