Tak butuh waktu lama, kabar ini langsung menyebar luas. Banyak yang terkejut, bahkan marah, mengingat Iris sebelumnya pernah menyampaikan kesedihannya karena dikhianati dalam pernikahan.
“Dia bukannya korban selingkuh? Kok sekarang jadi pelaku?” tulis seorang netizen di kolom komentar.
Lainnya menambahkan:
"Iris Wullur salah pilih lawan. Yang dia lawan cucu konglomerat.”
Sejumlah komentar bernada satir pun muncul:
“Mba Iris gak bisa hidup tanpa laki-laki ya? Baru otw cerai, sudah nempel sama suami orang.”
Pembelaan dari Kusuma Anggraini: Fokus pada Anak dan Kebenaran
Kusuma tak tinggal diam. Dalam serangkaian unggahan, ia menekankan bahwa dirinya tidak keberatan jika Arif memiliki pasangan baru. Yang ia permasalahkan adalah tuduhan tak berdasar yang menyebut dirinya sebagai pihak yang berselingkuh atau menelantarkan anak mereka.
“Gak masalah lu punya pacar 1, 2, 3 atau 10 sekalipun. Tapi stop fitnah gue selingkuh dan ninggalin Rami. Itu semua FITNAH,” tulis Kusuma.
Sikap tegas Kusuma justru mendapat simpati lebih dari publik. Ia dianggap elegan dan tangguh menghadapi badai rumah tangga yang penuh tekanan sosial.
Isu ini mengungkapkan dinamika menarik dalam hubungan manusia, khususnya ketika narasi media sosial memutarbalikkan peran. Kasus Iris Wullur menunjukkan bagaimana publik figur yang sebelumnya mendapat simpati bisa dengan cepat kehilangan kepercayaan hanya karena satu foto dan opini yang viral.
Fenomena ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam mengelola narasi pribadi di ruang publik. Warganet kini bukan sekadar penonton pasif, mereka menjadi “juri” atas kehidupan selebritas dan penilaiannya bisa tajam, bahkan tanpa konfirmasi langsung dari pihak yang dituduh.
Refleksi Sosial: Media Sosial sebagai Ruang Sidang Tanpa Hak Jawab
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini membuka diskusi tentang bagaimana media sosial menjadi alat penghakiman massal. Fakta belum tentu dikonfirmasi, namun opini sudah terbentuk. Iris Wullur belum memberikan klarifikasi resmi, tetapi penghakiman publik telah berlangsung.