POSKOTA.CO.ID – Pengamat politik Rocky Gerung menyebut mantan Presiden Joko Widodo tengah menghadapi tekanan kuat dari opini publik pasca lengser dari jabatan, terutama terkait isu ijazah palsu dan dugaan upaya pengalihan isu melalui tuduhan konspirasi politik. Hal itu disampaikan dalam diskusi bersama jurnalis senior Hersubeno Arief.
Rocky menilai, mantan Presiden Jokowi berupaya mempertahankan eksistensinya dalam ruang publik dengan memanfaatkan polemik seputar legalitas ijazah yang dipertanyakan sejak dua tahun terakhir.
Ia menyebut langkah hukum yang ditempuh terhadap pihak-pihak yang mengkritisi Jokowi justru memperpanjang kontroversi tersebut.
"Kelihatannya Presiden Jokowi, ya, atau mantan Presiden Jokowi, mantan Presiden RI ini berupaya untuk tetap mempertahankan kebingungan publik atau tetap mengeksploitasi opini publik supaya nama beliau itu tetap ada di dalam pemberitaan," ujar Rocky, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Rocky Gerung Official pada Kamis, 17 Juli 2025.
Baca Juga: Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Naik Status Penyidikan, Polda Metro Jaya Periksa 49 Saksi
Dalam pandangannya, langkah Jokowi menyebut isu ijazah sebagai bagian dari "desain politik" justru memperkuat kecurigaan publik akan keabsahan dokumen tersebut. Rocky menyebut tuduhan konspirasi itu tidak memiliki dasar yang kuat.
"Ya, desain politiknya adalah meminta pertanggungjawaban seorang politisi ulung selama 10 tahun yang menyembunyikan fakta keijazahnya itu saja soalnya," katanya.
Rocky juga menyinggung tekanan yang kini dirasakan keluarga Jokowi. Ia menyoroti posisi Gibran Rakabuming Raka yang tengah menghadapi tuntutan pemakzulan, serta Bobby Nasution yang mulai disorot oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di sisi lain, Hersubeno menilai bahwa masyarakat, bahkan di level akar rumput, telah memiliki kesadaran politik yang tinggi. Ia mengamati olok-olok terhadap Jokowi tak hanya ramai di media sosial, tetapi juga muncul dalam bentuk mural dan tulisan di kendaraan umum seperti truk.
Baca Juga: Pengamat Politik Soroti Pernyataan Luhut Soal Jasa Presiden Jokowi yang Sudah Dilupakan
"Ini menunjukkan bahwa sampai masyarakat kelas bawah, supir truk, itu sangat well-informed dan punya kesadaran politik yang tinggi," ujar Hersubeno.
Rocky menambahkan bahwa satire terhadap Jokowi telah menjadi fenomena budaya populer. Ia menyebut bentuk ekspresi ini sebagai "counter culture" yang menunjukkan kekecewaan publik terhadap sosok mantan presiden.
"Yang terjadi sebaliknya, semakin hari status kenegarawanan seorang mantan presiden itu hilang, dibuat olok-olok di media sosial, dilukis dalam bentuk satire, atau bahan candaan di belakang truk, bak-bak truk," ungkapnya.
Terkait tuduhan Jokowi akan adanya konspirasi besar, Rocky menegaskan bahwa beban pembuktian justru ada di tangan Jokowi sebagai pihak yang melontarkan tuduhan.
Baca Juga: Kasus Ijazah Palsu Jokowi Naik ke Penyidikan
"Jadi, Presiden Jokowi sebagai manusia politik yang punya dokumen, punya memori selama 10 tahun tentang elite politik tentu mesti membuktikan," katanya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa publik Indonesia menantikan pembuktian fakta secara terbuka, termasuk proses hukum yang adil atas kasus ijazah serta pemakzulan Gibran. Rocky mengingatkan bahwa kejujuran dan integritas moral tetap menjadi pondasi utama dalam demokrasi.
"Kesempatan kita untuk membangun negara harus dimulai dengan tersedianya keadilan, tersedianya kejujuran," ujarnya.
Rocky juga menyinggung soal respons kelompok pendukung Jokowi yang menurutnya mulai kehilangan narasi yang kuat dalam membela sang mantan presiden. Ia menyebut argumen yang dikembangkan oleh kelompok tersebut bersifat reaktif dan tidak substantif.
Baca Juga: Dituding Sebar Berita Bohong Ijazah Palsu Jokowi, Roy Suryo: Yang Lapor-lapor Ini Aneh
"Geng yang berupaya untuk membuktikan kepalsuan ijazah Pak Jokowi makin lama makin solid argumennya. Sementara pihak Pak Jokowi tidak punya kerangka berpikir utuh selain reaktif," tegas Rocky.
Sebagai penutup, Rocky menggarisbawahi pentingnya kejujuran sebagai nilai dasar dalam kepemimpinan politik, terutama setelah seorang tokoh tidak lagi menjabat.
"Kejujuran itu adalah panggilan untuk menjaga nobilitas. Dan Pak Jokowi kehilangan momentum itu," pungkasnya.