POSKOTA.CO.ID - Kawasan Jakarta Selatan, atau yang populer disebut “Jaksel,” tidak hanya sekadar penanda wilayah administratif. Sejak masa kolonial Hindia Belanda, kawasan ini telah menjadi simbol permukiman kelas menengah ke atas.
Menteng, yang hari ini sering disalahkaprahkan sebagai bagian Jakarta Selatan meski secara administratif termasuk Jakarta Pusat, sudah lama menjadi kawasan elite. Dibangun awal abad ke-20, Menteng dirancang sebagai kawasan perumahan modern bagi pejabat Belanda dan kaum borjuis lokal.
Sementara itu, Kebayoran Baru dirancang pada 1948 dan mulai berkembang pesat pada dekade 1950-an. Kawasan ini menjadi perumahan kalangan pengusaha, pejabat tinggi pemerintahan, serta profesional terdidik.
Sejak era tersebut, banyak keluarga di kawasan ini memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas, baik di sekolah swasta berstandar internasional maupun lembaga pendidikan luar negeri. Hal inilah yang kemudian melahirkan generasi baru yang sangat akrab dengan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Cara Nonton Anime Dandadan Season 2 Episode 1 Sub Indo, Klik Link Streaming di Sini
Keluarga-Keluarga dengan Mobilitas Pendidikan Tinggi
Melansir dari Quora @Rufus Panjaitan, pendidikan menjadi faktor fundamental yang memengaruhi pola tutur anak-anak Jaksel. Banyak keluarga yang sejak awal memiliki orientasi global. Mereka mendorong anak-anak mengenyam pendidikan di sekolah internasional, kursus bahasa Inggris, atau program pertukaran pelajar ke negara-negara Barat.
Dalam konteks linguistik, anak-anak yang sudah fasih berbahasa Inggris cenderung merasa lebih “nyaman” menggunakan istilah-istilah tertentu dalam bahasa Inggris. Bagi mereka, beberapa ungkapan memang terasa lebih tepat atau lebih ekspresif jika disampaikan dalam bahasa asing itu.
Contohnya, frasa “It’s awkward,” “literally,” “I feel like…” menjadi kalimat yang sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, terutama saat berbincang santai dengan teman sebaya.
Kultur Nongkrong: Blok M dan Melawai
Selain faktor pendidikan, kultur pergaulan turut memperkuat stereotip “anak Jaksel.” Sejak dekade 1970-an hingga kini, kawasan Blok M dan Melawai menjadi pusat tongkrongan anak muda lintas kelas. Tempat-tempat seperti kafe, restoran cepat saji, hingga pusat perbelanjaan menyediakan ruang sosial yang mendukung interaksi heterogen.
Di area inilah bahasa campuran makin berkembang. Ketika anak-anak muda dari berbagai latar belakang bertemu, penggunaan bahasa Inggris menjadi semacam kode status, simbol keterbukaan budaya global, sekaligus bentuk pergaulan modern yang “gaul.”
Faktor media juga mendukung penguatan citra tersebut. Film, serial televisi, hingga konten digital di platform YouTube dan TikTok mempopulerkan gaya bahasa campuran sebagai tren kekinian yang kemudian menular lebih luas ke generasi muda urban.
Film dan Media Populer
Fenomena bahasa campuran anak Jaksel juga tidak lepas dari pengaruh representasi budaya populer. Sejumlah film Indonesia yang mengambil latar Jakarta Selatan kerap menampilkan karakter “anak gaul” dengan ciri khas tutur setengah Inggris.
Misalnya, film-film bertema remaja urban seringkali menggunakan skenario percakapan yang menyisipkan ungkapan-ungkapan bahasa Inggris sebagai penguat karakter dan citra kosmopolitan.
Pengaruh media sosial makin menegaskan tren ini. Para konten kreator yang tinggal di Jakarta Selatan kerap memproduksi vlog, video podcast, dan unggahan reels yang menormalisasi percakapan bilingual.

Aspek Identitas Sosial dan Gengsi
Bahasa bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga simbol identitas sosial. Banyak pakar sosiolinguistik menyebutkan bahwa kebiasaan menggunakan bahasa campuran di kawasan urban berfungsi menegaskan posisi sosial atau memperkuat afiliasi kelompok.
Dalam konteks anak Jaksel, kebiasaan menyelipkan kata atau frasa bahasa Inggris bisa menjadi indikator “kelas menengah terdidik.” Dengan kata lain, praktik tersebut menandakan privilege tertentu: akses pendidikan, budaya konsumsi global, dan relasi dengan komunitas yang lebih luas.
Namun di sisi lain, ada juga persepsi negatif. Sebagian publik menganggap kebiasaan tersebut sebagai bentuk “sok-sokan,” “berlagak lebih pintar,” atau “tidak nasionalis.” Stigma ini muncul akibat persepsi bahwa penggunaan bahasa campuran bersifat pamer status sosial dan kurang menghargai bahasa Indonesia.
Lingkungan Multibudaya dan Proses Urbanisasi
Jakarta Selatan sejak lama dikenal sebagai wilayah multibudaya. Kehadiran ekspatriat, perusahaan multinasional, dan lembaga internasional membuat bahasa Inggris menjadi lingua franca di banyak sektor profesional.
Urbanisasi masif pasca-Reformasi menambah heterogenitas penduduk, di mana generasi muda tumbuh dalam atmosfer yang menggabungkan nilai-nilai lokal dan global secara bersamaan.
Hal inilah yang kemudian menciptakan fenomena “Jaksel” sebagai simbol kawasan kosmopolitan dengan pola komunikasi yang mencerminkan urban hybrid identity.
Peran Pendidikan Internasional
Lembaga pendidikan internasional di kawasan Jakarta Selatan berperan signifikan dalam membentuk kebiasaan berbahasa campuran. Sekolah-sekolah internasional seperti Jakarta Intercultural School (JIS), New Zealand School, dan Singapore International School memberikan kurikulum berbahasa Inggris secara penuh.
Sejak usia dini, anak-anak dibiasakan berpikir, berdiskusi, dan mengekspresikan pendapat dalam bahasa Inggris. Kebiasaan ini pun terbawa hingga kehidupan sosial di luar sekolah.
Dalam banyak kasus, orang tua juga mendukung pola komunikasi bilingual sebagai bentuk investasi masa depan, terutama bagi anak-anak yang kelak akan kuliah di luar negeri atau bekerja di perusahaan internasional.
Baca Juga: Pemprov Jakarta Batalkan CFN dan Festival Muharam, Ini Kata Pramono
Simbol Modernitas dan Tren Media Sosial
Tidak dapat dimungkiri, media sosial menjadi akselerator utama penyebaran gaya bahasa “Jaksel.” Tren video TikTok, Instagram Reels, hingga podcast populer kerap menampilkan percakapan bilingual yang viral.
Fenomena “Jaksel language” akhirnya menjadi tren nasional. Banyak remaja dari luar Jakarta yang kemudian menirukan gaya tutur tersebut sebagai simbol pergaulan modern.
Bagi generasi Z dan milenial, penggunaan bahasa campuran bukan semata-mata bentuk pamer, tetapi bagian dari tren budaya digital global.
Fenomena anak Jaksel yang berbicara dengan campuran bahasa Inggris memiliki akar yang panjang: sejarah permukiman elite, akses pendidikan internasional, kebiasaan nongkrong di pusat gaya hidup urban, serta pengaruh budaya populer.
Praktik linguistik ini mencerminkan dinamika sosial masyarakat urban yang terus berubah. Bagi sebagian orang, fenomena ini menjadi kebanggaan identitas modern. Bagi yang lain, justru menjadi sumber kritik.
Apapun perspektifnya, realitas bahasa campuran “anak Jaksel” adalah potret kecil bagaimana globalisasi membentuk pola komunikasi generasi muda Indonesia.