TANGERANG, POSKOTA.CO.ID - Kasus kekerasan seksual kembali mencoreng martabat lembaga pendidikan agama. Seorang kepala pesantren di kawasan Legok, Kabupaten Tangerang, ditangkap polisi atas dugaan pencabulan terhadap santriwatinya yang masih di bawah umur. Aksi keji ini diduga telah berlangsung berulang kali dalam kurun waktu dua bulan terakhir.
Korban, seorang santriwati berusia 15 tahun, mengalami trauma berat setelah menjadi sasaran pelecehan seksual oleh orang yang seharusnya melindunginya.
Kasus ini terungkap setelah korban memberanikan diri menceritakan penderitaannya kepada keluarga. Dukungan keluarga akhirnya membawa kasus ini ke ranah hukum, dengan pelapor resmi yang diajukan ke pihak kepolisian.
Identitas pelaku yang merupakan figur otoritas di lingkungan pesantren membuat kasus ini semakin memprihatinkan. SHL (34), sang kepala pesantren, diduga memanfaatkan jabatannya untuk mengintimidasi dan memaksa korban memenuhi nafsu bejatnya.
Baca Juga: Genangan di Kembangan Akibat Luapan Kali Angke Dipastikan Surut Hari Ini
Fakta bahwa pelaku menggunakan ancaman pengucilan dari kegiatan agama sebagai senjata psikologis menambah daftar kekejian dalam kasus ini.
Modus Keji: Intimidasi Berkedok Pendidikan Agama
Investigasi polisi mengungkap bahwa SHL menggunakan ancaman agama sebagai senjata untuk memaksa korban. Awalnya, pada Maret 2025, pelaku menawari korban menjadi ketua OSIS, namun korban menolak.
“Apabila korban tidak mau menjadi ketua OSIS, maka korban akan dikeluarkan dari grup Tahfidz yang mana tersangka adalah guru pelajaran Tahfidz,” tegas Kapolres Tangerang Selatan AKBP Victor Inkiriwang dalam konferensi pers, Rabu 2 Juli 2025.
Ancaman dikeluarkan dari grup Tahfidz Al-Quran membuat korban ketakutan. Sebagai santriwati, keikutsertaannya dalam grup tersebut sangat penting bagi pendidikannya. Dalam kondisi tertekan, korban pun tidak bisa menolak keinginan pelaku.
Baca Juga: Pohon Tumbang Hancurkan Kedai Ramen hingga Motor di Tebet Jaksel
9 Kali Pencabulan di Bawah Ancaman
Memanfaatkan ketakutan korban, SHL kemudian melakukan aksi pencabulan. Tak hanya sekali, pelaku diduga mengulangi perbuatan bejatnya hingga sembilan kali dalam periode Maret-April 2025.
“Saat itu korban terus diancam dan dilakukan tindak pencabulan oleh pelaku sebanyak 9 kali. Aksi berlangsung selama bulan Maret hingga April 2025,” tambah Kapolres.
Korban juga terus diintimidasi agar tidak berani melapor. SHL mengancam akan melakukan kekerasan jika aksinya terbongkar. Tekanan psikologis ini membuat korban awalnya memilih diam, sebelum akhirnya keluarga membantunya mencari keadilan.
Baca Juga: DPRD Provinsi DKI Jakarta Fokus Kemudahan Berinvestasi di Jakarta untuk Mengatasi Pengangguran
Ancaman Hukuman 20 Tahun Penjara
SHL kini telah resmi ditahan sebagai tersangka. Ia dijerat dengan:
- Pasal 82 UU No. 17/2016 tentang Perlindungan Anak
- Pasal 6 UU No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
“Ancaman hukumannya paling lama 20 tahun penjara,” tegas Kapolres. Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pesantren dan lembaga pendidikan lainnya.
Pihak berwenang mendesak peningkatan pengawasan serta mekanisme perlindungan anak yang lebih ketat.
Masyarakat juga diimbau untuk segera melapor jika menemukan indikasi kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan. “Jangan diam, laporkan!” pesan Kapolres.