POSKOTA.CO.ID - Ajang Miss Indonesia 2025 kembali menjadi sorotan setelah mencuatnya kontroversi yang melibatkan Merince Kogoya, finalis perwakilan dari Papua Pegunungan.
Ia resmi dicoret dari daftar peserta oleh pihak penyelenggara.
Pemicu diskualifikasi Merince adalah unggahan video lama di Instagram miliknya yang menunjukkan dukungan terhadap Israel.
Video Lawas Menjadi Sumber Masalah
Video yang diunggah Merince pada 16 Mei 2023 itu memperlihatkan dirinya bernyanyi dan menari bersama beberapa orang sambil membawa bendera Israel.
Baca Juga: Arti Bendera Merah Iran Apa? Ini Makna Simbolik Setelah Serangan Israel
Dalam keterangan unggahannya, ia menuliskan kalimat dukungan berbunyi, “Giat bagi SION, Setia bagi YERUSALEM, Berdiri bagi ISRAEL...”.
Video tersebut kembali mencuat dan memicu perdebatan panas di media sosial, mengingat mayoritas masyarakat Indonesia menunjukkan solidaritas terhadap Palestina.
YMI Gantikan Merince dengan Finalis Lain
Merespons polemik tersebut, pada 27 Juni 2025 Yayasan Miss Indonesia (YMI) memutuskan untuk memulangkan Merince dari ajang dan menunjuk Karmen Anastasya sebagai pengganti perwakilan dari Papua Pegunungan.
Penjelasan Merince: Soal Iman dan Kekecewaan
Lewat unggahan Instagram Story, Merince menyampaikan klarifikasinya. Ia menjelaskan bahwa konten tersebut merupakan wujud dari kepercayaannya sebagai seorang Kristen dan bukan pernyataan politik.
Ia menyayangkan bahwa unggahan lama itu disebarluaskan tanpa penjelasan yang utuh mengenai latar belakang keyakinannya. Merince juga mengaku kecewa terhadap keputusan panitia yang menurutnya dipengaruhi tekanan dari opini publik.
"Empat bulan perjuangan saya untuk menjadi finalis Papua Pegunungan harus kandas karena tekanan opini yang tidak selaras dengan iman saya," tulis Merince.
Baca Juga: 50 Orang Tertipu Wisata Religi ke Israel, Kerugian Capai Rp2 Miliar
Ia juga menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga serta masyarakat Papua Pegunungan atas kejadian ini.
Kasus ini menjadi contoh bahwa jejak digital dapat berdampak besar pada peluang karier seseorang, sekaligus memantik perbincangan lebih luas mengenai batas antara kebebasan berkeyakinan dan sensitivitas publik dalam panggung nasional yang sarat isu geopolitik.