POSKOTA.CO.ID - Di balik senyum orang dewasa yang tampak kuat dan mandiri, seringkali tersembunyi suara kecil yang lama terbungkam. Suara yang muncul dari bagian diri kita yang dulu kelelahan menjadi “anak baik”, “si kuat”, atau “si pintar”—peran-peran yang mungkin kita mainkan demi cinta dan pengakuan. Inilah yang oleh banyak psikolog disebut sebagai inner child.
Inner child bukan sekadar istilah populer di media sosial. Ia adalah metafora bagi pengalaman emosional masa kecil yang belum sempat kita proses.
Luka yang dulu tidak tersentuh, kini bisa muncul dalam bentuk kecemasan, perfeksionisme, rasa tidak aman, atau ketakutan ditinggalkan.
Baca Juga: Aturan Baru Truk Zero ODOL 2026: Sopir Terjepit, Jalan Rusak, Negara Merugi
Aku Dulu Pikir Aku Kuat…
Melansir dari Instagram @Vibrasi_Syukur Banyak orang merasa bangga dengan kemampuan mereka menahan beban, menekan emosi, dan tetap “produktif”. Tapi seiring waktu, muncul kesadaran bahwa kekuatan itu hanyalah mekanisme bertahan coping mechanism untuk merasa aman. Kita berpura-pura baik-baik saja, bukan karena benar-benar baik, tapi karena tidak tahu cara lain untuk bertahan.
Ketika kita menolak mendengarkan suara hati yang rapuh, kita juga menutup pintu pemulihan. Kita hidup dalam mode bertahan, bukan berkembang. Kita menjadi asing bagi diri sendiri.
Suara yang Tak Pernah Diberi Ruang
Banyak dari kita tumbuh tanpa belajar bagaimana mengenali dan mengekspresikan emosi secara sehat. Kita diajarkan untuk “jangan cengeng”, “harus kuat”, atau “jangan bikin malu”. Akibatnya, emosi-emosi seperti sedih, marah, atau kecewa dianggap lemah dan harus ditekan.
Padahal, emosi tidak pernah salah. Yang salah adalah ketika emosi itu diabaikan atau dipendam terlalu lama. Inner child kita, yang dulu tidak didengarkan, tumbuh menjadi luka yang kita bawa hingga dewasa.
Pertanyaan Kecil, Dampak Besar
Pemulihan tidak selalu dimulai dari terapi yang intens atau buku psikologi tebal. Kadang, langkah pertama adalah pertanyaan sederhana “Gimana rasanya hari ini?”
Saat kita mulai jujur bertanya pada diri sendiri tanpa menghakimi, tanpa tergesa-gesa ada ruang baru yang terbuka. Ruang untuk merasa aman, untuk berkata, “aku capek,” atau “aku sedih,” tanpa perlu memberi alasan.
Kepala menjadi lebih ringan. Hati merasa tidak sendiri.