POSKOTA.CO.ID - Bau tak sedap menusuk hidung begitu memasuki halaman rumah Cambang, lansia renta yang berusia 78 tahun.
Tumpukan sampah, kandang ayam, dan genangan air menjadi pemandangan sehari-hari di sudut rumah reyot berukuran 4x4 meter ini. Di tempat yang ia sebut sebagai rumah itu, Cambang bertahan hidup bersama anak laki-lakinya yang baru berusia 8 tahun.
Bangunan di Jalan Raya Babelan, Gang Koramil, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, jauh dari kata layak. Lantainya masih tanah, atap bocor di sana-sini, membuat setiap hujan deras menjadi mimpi buruk bagi mereka. Bahkan dinding rumahnya hanya terbuat dari bilah bambu dan anyaman rapuh yang nyaris ambruk dimakan usia.
"Atapnya banyak yang bocor. Jadi kalau hujan, ya, basah semua. Kadang enggak bisa tidur, karena airnya jatuh ke bale (tempat tidur)," kata Cambang kepada Poskota, Selasa (17/6).
Di bale usang tanpa kasur empuk itulah ia dan anaknya merebahkan badan setiap malam. Selimut pun hanya sehelai kain lusuh. Tepat di samping tempat tidur mereka, ayam-ayam peliharaan berkeliaran, menambah aroma tak sedap yang memenuhi ruangan.
Sudah sembilan tahun Cambang tinggal di lahan milik orang lain tanpa kepastian status. Tidak ada bangunan yang diplester semen, tidak ada listrik memadai, air sumur pun keruh dan berbau. Kamar mandi yang seadanya dikhawatirkan jadi sumber penyakit bagi Cambang dan anaknya.
"Saya takut sekali rumah ini roboh. Mau tidur pun rasanya was-was. Kalau sampai ambruk tiba-tiba, saya mau tinggal di mana. Kasihan anak saya juga masih kecil," ucap dia.
Meski begitu, bantuan dari pemerintah nyaris tak pernah menyentuh rumah reyotnya. Cambang mengaku saat ini dirinya hanya mendapatkan bantuan sembako dari program BPNT yang datang tiga bulan sekali. Sedangkan program bedah rumah atau bantuan sekolah bagi anaknya tak kunjung datang.
Istri Cambang diketahui telah meninggal setahun lalu. Hal itu menyisakan luka yang masih membekas di hatinya. Anak perempuannya, Mutmainah 16 tahun, kini terpaksa tinggal bersama kakak tertua karena rumah reyot ini tak layak dihuni tiga orang.
Saat ini, Mutmainah masih bersekolah dan duduk di bangku kelas 2 SMK swasta. Biaya sekolah sang anak kerap membuat Cambang kebingungan.
"Kalau anak mau ulangan suka dimintai uang SPP. Saya seringnya belum punya uang, jadi harus ngumpulin dari jual rongsok. Kasihan, kadang dia enggak tega liat bapaknya susah begini," katanya.
Ia ingin anak perempuannya sukses, sehingga bisa mengangkat derajat keluarga kecil mereka. Namun, kenyataan sering kali tak sejalan dengan harapan. Uang sekolah kerap menunggak, dan biaya ujian sering jadi masalah. Cambang hanya bisa pasrah, berharap keajaiban datang suatu hari.
Setiap hari, tubuh senja Cambang masih dipaksa mengais rezeki dengan mengumpulkan rongsok. Dari hasil memulung barang bekas, paling banyak ia hanya membawa pulang Rp150 ribu seminggu. Itu pun harus cukup untuk makan berdua, ongkos sekolah anak, hingga kebutuhan hidup lainnya.
"Dulu saya pernah jadi tukang bangunan. Tapi sekarang udah enggak kuat. Kepala saya sering pusing, kaki suka gemetar. Jadi saya cuma bisa kerja ringan di rumah," ucapnya seraya memegang kepala yang terasa berat, karena penyakit vertigo.
Cambang sadar, usianya tak lagi muda. Badannya rapuh, dan tenaganya kian menipis. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah bagaimana masa depan anak-anaknya.
"Syukur-syukur bisa dapat bantuan dari pemerintah. Paling tidak untuk tempat tinggal," ujarnya.(Nurpini Aulia Rapika)