POSKOTA.CO.ID - Kasus pelecehan seksual yang mengguncang kawasan Bekasi, Jawa Barat, terungkap pada Mei 2025. Pelakunya bukan orang dewasa, melainkan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang diduga telah melakukan tindakan tak senonoh terhadap empat anak lainnya.
Kejadian ini pertama kali terungkap ketika seorang teman dari pelaku memergoki aksi tersebut di area dekat tanggul sungai yang menjadi tempat bermain anak-anak.
Saksi mata, yang juga masih anak-anak, segera melaporkan peristiwa itu kepada kakak salah satu korban. Dari sinilah, keluarga korban mulai mengungkap peristiwa memilukan yang selama ini tersembunyi.
Temuan awal segera dikonfirmasi oleh keluarga, dan ibu dari salah satu korban, yang berinisial R, langsung mengambil tindakan dengan membawa anaknya yang masih berusia 7 tahun untuk menjalani pemeriksaan medis.
Baca Juga: Kredivo Masih Error Hari Ini 10 Juni 2025? Apa Penyebabnya Tidak Bisa Dibuka? Simak Penjelasannya
Visum Membuktikan Luka Fisik pada Anak Korban
Hasil visum yang dilakukan terhadap korban memperkuat dugaan terjadinya pelecehan seksual. Terdapat luka di bagian anus korban yang menandakan adanya kekerasan seksual. Luka tersebut bukan hanya meninggalkan jejak fisik, tetapi juga trauma mendalam yang dialami korban hingga kini.
Menurut penuturan sang ibu, R, anaknya kini mengalami gangguan psikologis berat. Dalam wawancara dengan sejumlah media, ia mengatakan bahwa anaknya kerap menangis dan tidak berani ditinggal sendirian.
“Sering nangis, sering ketakutan dan sering, ‘Mah aku jangan ditinggal ya Mah. Mah, aku takut’,” ujarnya dengan nada lirih. Kondisi tersebut menggambarkan dampak jangka panjang dari pelecehan yang diderita anak-anak, terutama saat peristiwa tersebut dilakukan oleh teman sebaya mereka.
Kendala Hukum: Laporan Ditolak Polres Metro Bekasi
Upaya keluarga korban untuk mencari keadilan tampaknya menemui jalan terjal. Saat mencoba melaporkan peristiwa ini ke Polres Metro Bekasi, R mengaku laporannya tidak diterima. Tidak dijelaskan secara rinci alasan penolakan laporan oleh pihak kepolisian, namun kasus ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual dengan pelaku di bawah umur.
Penolakan ini tentu saja memperparah kondisi mental korban dan keluarganya, mengingat mereka tidak hanya menghadapi trauma internal, tetapi juga minimnya dukungan dari aparat penegak hukum.
R sempat mencari jalur mediasi melalui Dinas Perlindungan Anak Kota Bekasi. Sayangnya, proses tersebut juga tertunda karena R harus dirawat di rumah sakit akibat tekanan fisik dan psikologis yang dialaminya.
Tuntutan Rehabilitasi bagi Pelaku Anak
Meski pelaku masih berusia 8 tahun dan tergolong dalam kategori anak yang belum memiliki tanggung jawab hukum penuh menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), R dan keluarganya berharap agar anak tersebut tetap mendapatkan bimbingan rehabilitatif.
Harapan ini didasari kekhawatiran bahwa jika tidak segera dilakukan penanganan psikologis dan edukatif terhadap pelaku, maka korban baru akan terus bermunculan.
“Yang saya harapkan dari pelaku ini mendapatkan rehab dan bimbingan untuk ke depannya agar tidak terjadi korban-koran lain lagi,” ucap R.
Pernyataan ini mencerminkan pentingnya peran negara dalam memastikan bahwa pelaku anak bukan hanya dihukum, tetapi juga dibimbing agar tidak mengulangi perilaku berbahaya tersebut.
Aspek Hukum dan Perlindungan Anak dalam Konteks Kekerasan Sesama Bocah
Kasus ini membuka diskusi panjang soal pendekatan hukum dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak baik sebagai korban maupun pelaku.
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak di bawah 12 tahun tidak dapat dituntut pidana dan hanya dapat dikenai tindakan. Namun demikian, tindakan yang dimaksud dapat meliputi rehabilitasi, pembinaan dalam lembaga, atau penanganan psikososial lainnya.
Penting dicatat bahwa sistem hukum di Indonesia sejatinya telah memberikan ruang untuk perlindungan dan pengawasan terhadap pelaku yang masih anak-anak.
Namun, lemahnya pelaksanaan di lapangan sering membuat keluarga korban merasa tidak mendapat keadilan. Dalam kasus ini, keengganan aparat menerima laporan dan lambannya tindak lanjut instansi perlindungan anak menunjukkan celah besar yang perlu segera ditangani.
Trauma Jangka Panjang pada Anak Korban: Perlunya Pendampingan Psikologis
Dampak psikologis dari kekerasan seksual terhadap anak-anak dapat berlangsung lama dan menghambat perkembangan emosional mereka.
Anak-anak korban bisa mengalami gangguan kepercayaan, fobia sosial, kecemasan berlebih, hingga depresi. Dalam kasus ini, anak korban menunjukkan gejala-gejala tersebut secara nyata, mulai dari takut ditinggal sendirian hingga menangis tanpa sebab.
Penting bagi institusi negara dan masyarakat untuk memastikan tersedianya layanan konseling psikologis gratis bagi korban kekerasan seksual anak. Dalam jangka panjang, proses penyembuhan mental korban menjadi aspek penting yang tak kalah vital dibanding proses hukum atau rehabilitasi pelaku.
Baca Juga: Bek Timnas Indonesia Rizky Ridho Cedera Otot Hamstring, Siapa Opsi Penggantinya?
Peran Masyarakat dan Lingkungan dalam Mencegah Kekerasan Seksual Anak
Kasus yang terjadi di Bekasi ini menjadi peringatan keras bahwa pengawasan terhadap anak-anak tidak hanya menjadi tugas keluarga, tetapi juga lingkungan sosial sekitar. Kejadian yang berlangsung di dekat tanggul sungai mengindikasikan minimnya pengawasan dan keamanan bagi anak-anak yang bermain di luar rumah.
Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam upaya preventif, mulai dari edukasi seksual yang sesuai usia, penyuluhan kepada orang tua tentang tanda-tanda pelecehan, hingga pembentukan sistem pelaporan yang ramah anak.
Selain itu, sekolah dan komunitas anak juga memiliki tanggung jawab dalam menciptakan lingkungan bermain dan belajar yang aman dari kekerasan fisik maupun seksual.
Kisah memilukan ini adalah salah satu potret nyata dari kompleksitas masalah kekerasan seksual di Indonesia, terutama ketika pelaku dan korban masih berada dalam usia yang sangat belia. Negara perlu hadir lebih aktif, bukan hanya dalam penegakan hukum, tetapi juga dalam penyembuhan luka sosial dan psikologis akibat kekerasan seksual terhadap anak.
Rehabilitasi pelaku anak dan pendampingan psikologis korban adalah dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan. Keadilan tidak selalu berarti hukuman; kadang, keadilan adalah penyembuhan. Dan untuk itu, sistem hukum dan perlindungan anak Indonesia harus berpihak pada masa depan baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat secara keseluruhan.