POSKOTA.CO.ID - IIndustri pinjaman online atau peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, di balik pertumbuhan yang signifikan ini, terdapat tantangan besar yang harus dihadapi para penyelenggara, yaitu memenuhi ketentuan ekuitas minimum yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 10 Tahun 2022, setiap perusahaan fintech P2P lending diwajibkan memiliki ekuitas minimum sebesar Rp7,5 miliar paling lambat pada Juni 2024.
Sayangnya, hingga Mei 2025, masih terdapat 12 dari total 97 penyelenggara fintech lending yang belum memenuhi kewajiban ini.
Angka ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, mengingat sebelumnya pada Oktober 2024, hanya 10 perusahaan yang tercatat belum memenuhi ketentuan tersebut, dan bertambah menjadi 11 pada Desember 2024.
Baca Juga: Pinjol Legal dan Ilegal Membuat Bingung Pengguna? Begini Cara Bedakannya!
Langkah OJK dan Data Terbaru
Dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner OJK periode Mei 2025, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, menyampaikan perkembangan ini secara rinci.
Ia menegaskan bahwa OJK secara aktif melakukan pemantauan terhadap kepatuhan perusahaan-perusahaan fintech lending terhadap ketentuan ekuitas minimum.
“Sebanyak 12 dari 97 penyelenggara P2P lending belum memenuhi ekuitas minimum Rp7,5 miliar,” ujar Agusman.
Dari 12 perusahaan tersebut, menurut Agusman, dua di antaranya sedang dalam proses analisis permohonan peningkatan modal disetor.
Proses ini akan menentukan apakah perusahaan dapat memenuhi syarat dan tetap melanjutkan operasional sebagai penyelenggara layanan pinjaman berbasis teknologi informasi (LPBBTI).
Solusi dan Sanksi: OJK Buka Peluang Penutupan Usaha
OJK telah memberikan berbagai opsi bagi perusahaan yang kesulitan memenuhi ekuitas minimum. Salah satunya adalah dengan mendatangkan investor strategis atau meminta suntikan modal tambahan dari pemegang saham eksisting.
Namun, bila tidak memungkinkan, OJK membuka kemungkinan pengembalian izin usaha secara sukarela oleh perusahaan yang bersangkutan.
“OJK terbuka jika ada penyelenggara yang memutuskan untuk tidak melanjutkan operasional dan mengembalikan izin usaha,” tegas Agusman.
Langkah ini dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen dan upaya menjaga stabilitas sektor jasa keuangan. OJK tidak segan mengambil tindakan administratif berupa pencabutan izin apabila penyelenggara tidak menunjukkan itikad baik dalam memenuhi peraturan yang berlaku.
Contoh Kasus: PT Ringan Teknologi Indonesia Mengembalikan Izin Usaha
Salah satu perusahaan yang telah mengambil keputusan untuk mengakhiri operasional secara resmi adalah PT Ringan Teknologi Indonesia, yang dikenal dengan nama dagang Ringan.
Perusahaan ini mengajukan pengembalian izin usaha setelah melakukan evaluasi internal mendalam bersama pemegang sahamnya.
Dalam penjelasannya, Agusman menyampaikan bahwa manajemen PT Ringan Teknologi Indonesia menyimpulkan akan mengalami kerugian berkelanjutan apabila tetap beroperasi, sehingga memutuskan untuk mengembalikan izin sebagai penyelenggara LPBBTI.
“Keputusan tersebut diambil berdasarkan proyeksi kerugian yang akan terus berlanjut,” ujar Agusman.
Dampak terhadap Industri Fintech Lending
Kegagalan perusahaan fintech dalam memenuhi ketentuan ekuitas minimum tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga pada kredibilitas industri secara keseluruhan.
Ketidakpatuhan terhadap regulasi menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan operasional, perlindungan konsumen, dan risiko sistemik dalam ekosistem fintech Indonesia.
Ekuitas minimum sebesar Rp7,5 miliar dimaksudkan sebagai jaring pengaman finansial untuk memastikan bahwa perusahaan memiliki cukup modal dalam menanggung risiko operasional dan kredit yang melekat pada layanan P2P lending.
Perbandingan dengan Fintech Legal dan Tidak Legal
Dalam konteks ini, OJK menegaskan pentingnya pembedaan antara fintech legal yang terdaftar dan diawasi oleh otoritas, serta fintech ilegal yang beroperasi tanpa izin dan sering kali merugikan masyarakat.
Regulasi mengenai ekuitas minimum adalah salah satu indikator dasar legalitas dan kapabilitas perusahaan fintech.
“Regulasi ini tidak sekadar administratif, tapi bertujuan menjamin kepercayaan publik terhadap sistem keuangan digital,” tambah Agusman.
Baca Juga: Pinjol Legal dan Ilegal Membuat Bingung Pengguna? Begini Cara Bedakannya!
Langkah Proaktif OJK Menuju Ekosistem Fintech Sehat
OJK telah menunjukkan pendekatan aktif dalam mendorong pemenuhan regulasi oleh seluruh pelaku fintech. Termasuk dengan menyediakan platform pelaporan berkala, komunikasi intensif dengan manajemen perusahaan, dan menggalang partisipasi dari investor untuk mendukung permodalan perusahaan.
Selain itu, OJK berkomitmen untuk menerbitkan pembaruan daftar fintech resmi dan memperketat pengawasan terhadap aktivitas penyelenggara yang berisiko tinggi. Tujuannya agar masyarakat hanya menggunakan layanan pinjol yang terpercaya dan sehat secara finansial.
Perjalanan regulasi ekuitas minimum dalam industri fintech lending menjadi contoh konkret bagaimana stabilitas keuangan harus dibangun melalui kepatuhan dan transparansi.
Meskipun masih terdapat 12 perusahaan yang belum memenuhi kewajiban ekuitas per Mei 2025, langkah tegas dari OJK memberi sinyal jelas bahwa hanya perusahaan yang patuh dan berkomitmen tinggi yang dapat bertahan dalam ekosistem digital keuangan Indonesia.
Kedepannya, publik diharapkan semakin selektif dalam memilih layanan pinjaman online dengan memperhatikan legalitas, kekuatan finansial perusahaan, dan integritas penyelenggara.