POSKOTA.CO.ID – Pengerahan besar-besaran personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengamankan kantor Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia memicu kontroversi dan pertanyaan publik tentang latar belakang serta tujuan sebenarnya dari operasi ini.
Instruksi tersebut tercantum dalam Telegram Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak tertanggal 6 Mei 2025, yang merupakan tindak lanjut dari perintah Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Telegram itu mengatur pengerahan personel Angkatan Darat, dengan kemungkinan diperbantukannya personel Angkatan Laut dan Angkatan Udara jika dibutuhkan.
“Ini adalah operasi resmi dari Mabes TNI. Namun langkah ini juga memunculkan tanda tanya besar, apa sesungguhnya yang terjadi di balik keputusan itu,” ujar pengamat politik dan jurnalis senior Hersubeno Arief, dikutip oleh Poskota pada Rabu, 14 Mei 2025, dari kanal YouTube Hersubeno Point.
Baca Juga: Ledakan Pemusnahan Amunisi TNI di Garut: 13 Tewas, Ini Sejumlah Fakta Lengkapnya
Seperti dikutip Hersubeno Arief, pihak TNI dan Kejaksaan telah memberikan penjelasan.
Mayor Jenderal TNI Kristomei Sianturi, Kepala Pusat Penerangan TNI, menyebut langkah ini sebagai bagian dari kerja sama yang memiliki dasar hukum, yakni Memorandum of Understanding (MoU) antara Kejaksaan Agung dan Panglima TNI tertanggal 6 April 2023.
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Brigjen TNI Wahyu Yudayana, Kepala Dinas Penerangan TNI AD. Ia menyatakan bahwa telegram tersebut tergolong sebagai "surat biasa" meskipun bersifat kilat.
Pihak Kejaksaan juga memberikan konfirmasi. Harley Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, mengatakan bahwa pengamanan TNI adalah bagian dari kerja sama institusional.
Meski demikian, banyak pihak menilai penjelasan itu terlalu normatif dan tidak menjawab kekhawatiran publik.
Hersubeno menyoroti bahwa pengerahan personel mencapai skala yang sangat besar, 930 personel untuk 31 Kejaksaan Tinggi dan 4.820 personel untuk 482 Kejaksaan Negeri, dengan total sekitar 5.750 personel, belum termasuk pengamanan Kejaksaan Agung.
“Jadi ini bisa masuk kategori operasi militer selain perang seperti saat terjadinya bencana atau pemilu. Tapi anehnya, dalam telegram itu tidak disebutkan sampai kapan pengawalan akan dilakukan. Ini membuat publik bertanya-tanya,” kata Hersubeno Arief.
Dalam telegram disebutkan bahwa rotasi personel dilakukan setiap bulan, menandakan operasi ini berlangsung dalam jangka waktu yang tidak sebentar.
Hal ini, dalam pandangan Hersubeno Arief, mengingatkan publik pada insiden Mei 2024 lalu, ketika terjadi ketegangan antara aparat TNI dan Polri menyusul kasus dugaan penguntitan terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febri Adriansyah oleh anggota Densus 88.
“Peristiwa itu jadi peringatan bahwa konflik antar lembaga penegak hukum bisa terjadi. Dan pengerahan kali ini seolah jadi perpanjangan tangan dari konflik kekuasaan yang belum selesai,” ujar Hersubeno.
Sebagian analis mengaitkan langkah ini dengan arah kebijakan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang disebut-sebut akan melakukan gebrakan pemberantasan korupsi.
Dugaan pun mengarah pada adanya kekuatan besar yang sedang dihadapi Kejaksaan, termasuk elite politik dari pemerintahan sebelumnya.
“Banyak yang menduga ini ada kaitannya dengan operasi besar yang akan dilancarkan oleh Presiden Prabowo,” kata Hersubeno.
“TNI diminta ikut membackup habis-habisan karena ada kekhawatiran kekuatan besar yang mencoba menghalangi penegakan hukum,”