POSKOTA.CO.ID - Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai diluncurkan pemerintah Indonesia sejak Januari 2025 merupakan bagian dari kebijakan nasional untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak sekolah. Namun, implementasi program ini tak luput dari kendala serius, termasuk munculnya kasus keracunan makanan yang dialami lebih dari seribu siswa di berbagai daerah.
Badan Gizi Nasional (BGN) pun segera merespons kekhawatiran publik dengan menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam merancang skema perlindungan asuransi.
Inisiatif ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat dalam rantai pelaksanaan program, mulai dari penyedia hingga penerima manfaat langsung.
Meskipun niat dan tujuan MBG dinilai strategis, pengawasan ketat serta perbaikan sistem distribusi menjadi syarat mutlak agar manfaat program benar-benar dirasakan masyarakat tanpa risiko kesehatan yang tidak diinginkan.
Baca Juga: Terungkap! Ternyata Begini Cara Debt Collector Melacak Lokasi Debitur Pinjol, Simak Selengkapnya
Kritik terhadap Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) dan Dampak Nyata di Lapangan
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai diterapkan di sekolah-sekolah sejak Januari 2025 menuai beragam tanggapan dari publik.
Kendati program ini dinilai sebagai bentuk komitmen negara terhadap pemenuhan gizi anak usia sekolah, implementasinya justru menimbulkan kekhawatiran serius di tengah masyarakat.
Salah satu alasan munculnya kekhawatiran tersebut adalah maraknya kasus keracunan makanan yang dialami para siswa. Data terakhir mencatat, sebanyak 1.315 siswa di berbagai daerah mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan dari program MBG.
Peristiwa ini tidak hanya menjadi sorotan media, tetapi juga menimbulkan pertanyaan akan efektivitas dan keamanan program tersebut.
Kondisi tersebut membuat sebagian masyarakat menganggap bahwa program MBG “gagal”, khususnya dalam aspek pengawasan mutu makanan dan distribusi.
Respons BGN: Penyusunan Skema Asuransi untuk Perlindungan Risiko
Menanggapi berbagai keluhan dan insiden tersebut, Badan Gizi Nasional (BGN) segera merumuskan pendekatan solutif dengan menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna menyiapkan skema perlindungan asuransi.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menjelaskan bahwa pihaknya tengah menyiapkan konsorsium khusus sebagai pengelola asuransi untuk program MBG.
Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam distribusi dan penerimaan program dilindungi secara hukum dan finansial.
Asuransi ini rencananya akan menyasar dua kelompok utama:
- Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang bertugas menyiapkan dan menyalurkan makanan.
- Siswa penerima makanan MBG sebagai penerima manfaat utama.
Dengan begitu, jika suatu saat terjadi kesalahan dalam proses penyajian makanan yang menyebabkan kerugian atau gangguan kesehatan, maka perlindungan asuransi bisa langsung digunakan untuk penanganan darurat.
Keterlibatan OJK: Peran Strategis dalam Regulasi dan Penyusunan Premi
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menyampaikan bahwa OJK saat ini sedang menyusun proposal awal skema perlindungan yang diharapkan bisa segera diterapkan dalam waktu dekat.
Proposal tersebut dikembangkan bersama:
- Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI)
- Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI)
Dalam dokumen awal, disebutkan bahwa asuransi akan mencakup berbagai risiko utama, antara lain:
- Risiko dalam penyediaan bahan baku makanan
- Risiko pengolahan makanan oleh petugas di lapangan
- Risiko selama distribusi makanan ke sekolah
OJK juga berkomitmen menyusun premi dengan nominal terjangkau, agar tidak membebani anggaran pemerintah, petugas lapangan, maupun peserta program. Dalam hal ini, premi tidak akan mengurangi hak siswa atas makanan gratis.
Kekhawatiran Publik dan Kritik terhadap Pengawasan Pemerintah
Di tengah peluncuran program yang semestinya berdampak positif, banyak kalangan justru merasa khawatir. Masyarakat mempertanyakan pengelolaan anggaran dan pengawasan teknis, sebab anggaran besar tidak menjamin keamanan makanan, seperti yang tercermin dari banyaknya kasus keracunan.
Sejumlah netizen menyoroti lemahnya sistem uji mutu makanan sebelum disalurkan ke sekolah-sekolah, serta kurangnya pengawasan ketat terhadap vendor atau mitra penyedia makanan.
Akibat dari buruknya pengawasan tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap program MBG mulai menurun, bahkan tak sedikit orang tua yang memilih agar anaknya tidak mengonsumsi makanan dari program tersebut demi menghindari risiko kesehatan.
Pentingnya Evaluasi dan Standar Operasional yang Ketat
Untuk mencegah insiden serupa terjadi di masa depan, pemerintah perlu segera:
- Menetapkan standar operasional prosedur (SOP) nasional untuk semua vendor penyedia makanan.
- Mewajibkan uji laboratorium makanan sebelum didistribusikan.
- Membentuk tim pengawas independen untuk mengevaluasi setiap laporan insiden.
- Mengedukasi pihak sekolah dan orang tua mengenai komposisi menu yang sehat dan aman.
Lebih dari sekadar program gizi, MBG harus dimaknai sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang mendukung tumbuh kembang anak secara komprehensif, termasuk kesehatan fisik dan mental.
Harapan Baru lewat Skema Asuransi: Apakah Ini Solusi Nyata?
Meskipun asuransi tidak bisa mencegah keracunan, namun ia menjadi instrumen penting dalam memberikan rasa aman bagi para pelaksana dan peserta program MBG.
Perlindungan finansial terhadap risiko medis, kecelakaan kerja, atau pengadaan bahan makanan yang bermasalah dapat mengurangi beban institusi pendidikan maupun keluarga siswa.
Namun, keberhasilan skema ini akan sangat bergantung pada:
- Keterbukaan informasi kepada publik
- Transparansi dalam proses klaim
- Kepastian waktu penanganan risiko
Dengan demikian, pemerintah dituntut untuk tidak hanya menggulirkan kebijakan responsif, namun juga menjamin implementasi lapangan yang adil, efisien, dan bebas korupsi.
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah inisiatif yang secara prinsip sangat dibutuhkan, terutama dalam menanggulangi masalah gizi buruk di kalangan anak sekolah. Namun, tanpa pengawasan yang ketat, transparansi anggaran, dan perlindungan menyeluruh, program ini berpotensi gagal mencapai tujuan mulianya.
Pemberlakuan skema asuransi oleh BGN dan OJK adalah langkah progresif yang patut diapresiasi. Namun, asuransi bukanlah solusi utama, melainkan bagian dari sistem perlindungan risiko yang mendukung perbaikan sistemik program MBG.
Ke depan, sinergi antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan penyedia makanan harus diperkuat. Hanya dengan kolaborasi menyeluruh, program ini bisa menjadi pilar peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia sejak usia dini.