POSKOTA.CO.ID - Generasi Alpha adalah kelompok usia yang lahir antara tahun 2010 hingga 2024. Mereka merupakan generasi pertama yang tumbuh dalam ekosistem digital sepenuhnya.
Sejak balita, Gen Alpha telah terbiasa dengan kehadiran gawai seperti ponsel pintar dan tablet. Berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka mendapatkan stimulasi informasi secara instan dan berlimpah melalui layar digital.
Kedekatan dengan teknologi ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk cara belajar, berinteraksi, hingga memahami otoritas.
Hal ini pula yang membuat pola asuh dan pendekatan komunikasi kepada Gen Alpha harus sangat adaptif.
Baca Juga: Persib Bandung Ajukan Protes Resmi ke PSSI atas Kepemimpinan Wasit dalam Laga Kontra Barito Putera
Dedi Mulyadi dan Fenomena Ketakutan Gen Alpha
Belakangan, muncul fenomena menarik yang tersebar melalui media sosial, khususnya Instagram. Anak-anak Gen Alpha di Jawa Barat tampak menunjukkan ketakutan saat melihat atau mendengar suara Dedi Mulyadi, politisi sekaligus mantan Bupati Purwakarta yang kini menjabat sebagai tokoh penting di pemerintahan Jawa Barat.
Melalui akun Instagram pribadinya, @dedimulyadi77, ia membagikan video berisi imbauan kepada anak-anak untuk rajin mandi, tidur tepat waktu, dan tidak membangkang pada orang tua. Jika tidak, mereka akan “dijemput” ke barak militer oleh dirinya.
Konten tersebut kemudian menjadi viral, dan dikutip oleh akun populer seperti @mood.jakarta. Dalam video repost, tampak anak-anak langsung berubah sikap dari yang semula malas mandi atau makan menjadi sangat patuh hanya karena mendengar nama “Pak Dedi”.
Ketakutan yang Bermanfaat: Antara Teguran dan Edukasi
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah benar Gen Alpha takut dengan Dedi Mulyadi? Jika ya, apakah ketakutan ini berdampak positif atau justru menimbulkan trauma?
Dalam video tersebut, Dedi Mulyadi tidak menampilkan kekerasan verbal atau ancaman nyata. Ia menyampaikan pesan secara halus namun dengan narasi “otoritas” yang kuat. Penggunaan istilah seperti “dijemput ke barak militer” merupakan bentuk hiperbola edukatif yang sengaja dikemas dramatis demi menarik perhatian anak-anak.
Dari sisi pedagogis, metode seperti ini masuk ke dalam kategori “story-based discipline”, yaitu pendekatan pendidikan yang menggunakan narasi fiksi atau semi-fiksi untuk menanamkan nilai-nilai kedisiplinan.
Reaksi Masyarakat dan Viralitas Media
Respons masyarakat terhadap fenomena ini cukup beragam. Ada yang menilai pendekatan tersebut efektif karena mampu membuat anak menjadi lebih disiplin dan patuh, terutama dalam kebiasaan sehari-hari seperti mandi dan tidur.
Namun ada juga kekhawatiran bahwa pendekatan ini bisa meninggalkan dampak psikologis jangka panjang, terutama bila tidak disertai edukasi lanjutan dari orang tua mengenai maksud sebenarnya dari video tersebut.
Beberapa komentar warganet menyoroti transformasi bentuk otoritas yang ditakuti anak-anak. Jika generasi 90-an takut dengan mobil Jeep karena identik dengan polisi, maka Gen Alpha kini takut dengan sosok Dedi Mulyadi karena figur tersebut sangat sering muncul di media sosial dengan narasi tegas.
Tokoh Otoritatif di Era Digital
Menariknya, Dedi Mulyadi berhasil memosisikan dirinya sebagai tokoh otoritatif yang tetap ramah dan berorientasi edukatif.
Ia tidak menggunakan nada tinggi atau ekspresi kasar, melainkan menyampaikan pesan moral dengan pendekatan khas Sunda yang ringan namun bermakna.
Bagi anak-anak Gen Alpha yang lebih visual dan terbiasa dengan konten singkat, pendekatan ini ternyata cukup efektif.
Anak-anak yang sebelumnya tidak merespons perintah orang tua, justru langsung berubah perilaku setelah melihat video tersebut.
Peran Orang Tua dalam Menginterpretasi Pesan
Penting bagi orang tua untuk memandu anak-anak dalam memahami isi dari video Dedi Mulyadi. Ketakutan sementara mungkin bisa menjadi pemicu perubahan perilaku, namun bila tidak dijelaskan dengan bijak, bisa menjadi trauma jangka panjang.
Orang tua disarankan untuk berdialog dengan anak mengenai siapa Dedi Mulyadi sebenarnya, serta maksud dari pesan yang disampaikannya. Edukasi ini akan membantu anak memahami bahwa otoritas bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi dihormati.
Baca Juga: Film Agak Laen Bakal Diremake Versi Korea, Begini Sinopsis Aslinya
Pendidikan Karakter di Era Teknologi
Fenomena ini juga membuka diskusi yang lebih luas mengenai pendidikan karakter di era digital. Dengan akses informasi yang begitu luas, anak-anak rentan menerima pesan secara mentah tanpa bimbingan.
Dedi Mulyadi, dengan pengaruh media sosialnya, telah memperlihatkan bahwa tokoh publik bisa berperan dalam membentuk karakter generasi muda. Namun tetap, tanggung jawab utama ada di tangan keluarga dan institusi pendidikan.
Dedi Mulyadi: Figur Otoritatif Baru Bagi Gen Alpha?
Dalam era ketika figur publik bisa hadir di layar ponsel setiap saat, Dedi Mulyadi telah berhasil membangun citra sebagai “ayah tegas” versi digital. Kehadirannya bukan hanya sekadar tokoh pemerintahan, tetapi juga influencer dalam ranah pendidikan karakter anak.
Meskipun fenomena “takut” ini terlihat jenaka di permukaan, di baliknya terdapat potensi positif apabila dimanfaatkan secara proporsional dan didukung oleh narasi edukatif dari orang tua.
Fenomena Gen Alpha takut kepada Dedi Mulyadi mencerminkan perubahan cara komunikasi antargenerasi dalam era digital. Ketika metode otoritas lama tak lagi efektif, pendekatan melalui konten media sosial bisa menjadi solusi alternatif.
Namun, fenomena ini tetap memerlukan keseimbangan antara narasi tegas dan edukatif. Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa figur publik dapat memainkan peran positif dalam mendidik anak-anak, asalkan dilakukan dengan niat yang tepat dan komunikasi yang mendalam dengan para orang tua.