Aktris Nana Mirdad yang merasa terjebak dalam skema pinjaman online saat menggunakan fitur PayLater di aplikasi ojek daring (Sumber: Twitter/@999o7i)

HIBURAN

Nana Mirdad Mengaku Diteror Debt Collector Akibat PayLater, Apakah Terjerat Pinjol Legal?

Senin 05 Mei 2025, 14:58 WIB

POSKOTA.CO.ID - Di tengah derasnya perkembangan layanan keuangan digital, fitur PayLater kini menjadi salah satu metode pembayaran yang banyak diminati masyarakat.

Dengan iming-iming kemudahan dan fleksibilitas, tak sedikit pengguna aplikasi daring, termasuk ojek online, yang tergoda mengaktifkan fitur ini.

Namun, di balik kemudahan tersebut, tersimpan potensi risiko yang dapat menjerat pengguna dalam skema yang menyerupai pinjaman online (pinjol), seperti yang dialami aktris Nana Mirdad.

Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya (@nanamirdad_), Nana membagikan pengalaman pahit saat menggunakan PayLater.

Alih-alih mendapatkan kenyamanan, ia justru merasa diteror oleh penagih utang atau debt collector, yang menurutnya bertindak layaknya preman.

“Mungkin aku terlena dengan istilah ‘PayLater’ yang terasa tidak seperti pinjaman,” tulis Nana dalam Instagram Story yang kemudian viral di media sosial.

Baca Juga: Daftarkan Toko Anda ke QRIS agar Pembayaran Lebih Mudah

Awalnya Tampak Praktis, Tapi Menjebak

Dikutip dari akun Twitter @999o7i dan berbagai kanal berita digital, Nana mengaku awalnya tergoda menggunakan fitur PayLater karena kemudahannya.

Ia menganggap layanan tersebut hanya sebagai bentuk loyalitas dari aplikasi kepada pengguna, mirip seperti fasilitas kartu kredit tanpa proses rumit.

Namun kenyataan berbanding terbalik dengan harapan. Seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan tekanan dari sistem penagihan yang agresif dan mengganggu privasinya.

“Aku pikir ini hanya fitur tambahan dari aplikasi, bukan bentuk pinjaman. Tapi ternyata fungsinya sama,” lanjut Nana.

Teror Digital dan Ancaman Fisik

Yang membuatnya semakin terguncang adalah pola penagihan yang dilakukan secara terus-menerus melalui pesan WhatsApp. Bahkan, menurut pengakuannya, ia mendapatkan ancaman akan didatangi langsung ke rumahnya di Bali oleh pihak penagih.

“Setiap bulan kok penagihannya lebay banget. Sempat cari cara nonaktifin tapi gak bisa. Lama-lama ngeri juga, apalagi kalau sampai ke rumah,” jelasnya.

Kekhawatiran Nana bukan hanya terkait rasa aman pribadi, tetapi juga reputasi keuangan dan citra publiknya sebagai figur publik.

“Bukan soal nominalnya, kadang cuma Rp800 ribu atau Rp1 juta. Tapi cara nagihnya itu loh. Kasar, ngancem, dan bisa bikin catatan kita jelek di BI. Serem banget!”

Dampak Sistemik dan Minimnya Regulasi

Apa yang dialami Nana Mirdad sebenarnya merupakan cerminan dari permasalahan sistemik dalam layanan PayLater.

Meski telah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), banyak celah yang masih dimanfaatkan oleh penyedia layanan untuk menekan pengguna yang menunggak pembayaran.

Penggunaan metode komunikasi yang intimidatif dan minim etika profesional memperlihatkan lemahnya pengawasan terhadap pelaku industri fintech lending.

Dalam banyak kasus, debt collector bahkan menyebarkan informasi pribadi debitur kepada pihak ketiga, sebuah praktik yang melanggar hak konsumen atas privasi.

Fenomena Gen Z dan Gaya Hidup PayLater

Maraknya penggunaan PayLater di kalangan milenial dan Gen Z semakin memperlihatkan ketimpangan antara akses keuangan dan tingkat literasi.

Banyak yang tergiur dengan pembelian instan tanpa memahami konsekuensi dari bunga, penalti keterlambatan, serta risiko gagal bayar (default).

Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga bahkan menyatakan bahwa kecanduan terhadap fitur PayLater disebabkan oleh budaya konsumtif dan keinginan memenuhi gaya hidup tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial jangka panjang.

Peringatan dan Tindakan Preventif

Melihat banyaknya warganet yang mengaku mengalami hal serupa, Nana Mirdad memutuskan untuk membagikan kisahnya sebagai peringatan kepada masyarakat.

Ia menekankan pentingnya bersikap bijak dalam menggunakan layanan finansial digital dan tidak mudah tergiur dengan istilah yang terkesan ringan.

"Jangan terlena. Aku udah nonaktifin semua fiturnya. Mending top up langsung atau pakai kartu kredit resmi daripada harus hidup dalam ketakutan diancam-ancam gitu,” tegasnya.

Nana kini telah menonaktifkan seluruh fitur PayLater di aplikasinya dan menghapus data pribadi demi menjaga keamanan dan kenyamanan dirinya serta keluarganya.

Baca Juga: Tanggapi Rencana Pelajaran AI Masuk Kurikulum Sekolah, Kun Wardana: Siapa yang Ngajarin?

Solusi dan Perlindungan Konsumen

Kasus ini menjadi bahan refleksi bagi penyedia layanan keuangan digital untuk memperbaiki sistem penagihan dan memperketat standar perlindungan konsumen. Regulasi yang lebih ketat perlu diterapkan agar debt collector tidak bertindak di luar batas hukum.

Selain itu, masyarakat juga harus dibekali dengan edukasi literasi keuangan sejak dini agar memahami hak-hak mereka sebagai pengguna jasa.

Kampanye publik mengenai penggunaan PayLater secara bertanggung jawab pun perlu digalakkan oleh pemerintah, lembaga keuangan, dan pelaku industri teknologi finansial.

Kisah Nana Mirdad menjadi contoh nyata bahwa fitur PayLater, meskipun terlihat sederhana, tetaplah merupakan bentuk pinjaman yang memiliki risiko.

Keputusan finansial yang tidak matang dapat berujung pada tekanan psikologis, gangguan privasi, hingga kerusakan reputasi kredit.

Sebagai konsumen, kita harus memahami bahwa setiap fasilitas keuangan memiliki konsekuensi. Menggunakan PayLater secara bijak, atau bahkan memilih metode pembayaran konvensional yang lebih aman, adalah langkah awal untuk menjaga kestabilan finansial pribadi.

Tags:
Bahaya pinjaman online ilegalLiterasi keuanganRisiko fitur keuangan digitalPayLater seperti pinjolTeror debt collector ojolPengalaman buruk PayLaterNana Mirdad PayLater

Yusuf Sidiq Khoiruman

Reporter

Yusuf Sidiq Khoiruman

Editor