Ia juga tergabung dalam organisasi Budi Utomo, di mana ia bertugas di seksi propaganda untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme.
Salah satu karya tulisnya yang paling terkenal berjudul "Als Ik een Nederlander Was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), diterbitkan di surat kabar De Expres pada 13 Juli 1913.
Tulisan ini mengkritik keras pemerintah kolonial Belanda karena menggelar perayaan kemerdekaan di negeri yang masih dijajah.
Akibat tulisannya tersebut, ia diasingkan ke Pulau Bangka, sebelum akhirnya bersama dua tokoh lain, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, diasingkan ke Belanda. Ketiganya kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Merintis Pendidikan Nasional
Di masa pengasingan, Ki Hajar Dewantara aktif di organisasi Indische Vereeniging dan mendirikan kantor berita Indonesia.
Ia juga berhasil meraih Europeesche Akte, sebuah ijazah bergengsi yang menjadi dasar bagi pendirian lembaga pendidikan Taman Siswa pada tahun 1922.
Lembaga ini menjadi tonggak penting dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum pribumi, yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi kaum elite dan bangsa penjajah.
Salah satu warisan paling berharga dari Ki Hajar Dewantara adalah semboyan pendidikannya yang masih relevan hingga kini:
"Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."
Artinya: Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan. Slogan ini menjadi filosofi dasar dalam dunia pendidikan Indonesia.
Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional
Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya, Presiden Soekarno secara resmi mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959.
Namanya juga diabadikan dalam berbagai bentuk penghormatan, seperti pada kapal perang TNI AL dan uang kertas pecahan Rp20.000 edisi 1998.