Yang sedang menjadi pembahasan sekarang ini soal Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menghilangkan peran Soeharto, selain memunculkan polemik, juga memantik kontroversi. Ada kesan lebih menonjolkan peran yang sedang berkuasa, sementara mengurangi peran kalau tidak disebut menghapus peran orang yang tidak lagi berkuasa.
Lepas dari sejumlah argumentasi yang dibenarkan, nama Overste Soeharto tidak disebut dalam diktum, misalnya sebagai pelaksana atau memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Padahal, Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, dibuat dengan menimbang peristiwa Serangan Umum 1 Maret.
Sejarawan menilai dalam Keppres tersebut diktumnya kurang solid, beda dengan Keppres Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, sangat solid diktumnya.
Hadirnya kedua Keppres tersebut sangat baik dengan tujuan menyelesaikan kontroversi. Tetapi akan lebih baik jika dengan keluarnya Keppres tidak menimbulkan kontroversi.
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, bisa diartikan tidak menghilangkan peran orang yang telah berjasa membangun bangsa. Siapa pun orangnya, dari partai apapun, dari latar belakang manapun, seorang pemimpin bangsa, pasti telah berjasa kepada negeri ini.
Ingat kita ada karena telah ada orang tua kita. Orang tua kita ada karena telah ada kakek nenek kita dan seterusnya. Jangan lupakan itu, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Soal baik dan buruknya orang tua kita, para pemimpin kita baik yang masih ada dan telah tiada, hendaknya menjadi pembelajaran bagi generasi muda dan generasi-generasi berikutnya.
Yang buruk kita tinggalkan, yang baik kita petik dan matangkan sebagai bekal menorehkan sejarah yang baik untuk bangsa ini menuju Indonesia berdaulat.
Sebagaimana pitutur luhur mengajarkan “Memayu hayuning bawono, ambrasto dur hangkoro”-manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Ini demi keselamatan dan keamanan kita semua. (Azisoko*)