Kemudian, dikatakan Parlindungan, para santriwati ini melaporkan kejadian yang dialaminya kepada salah satu pengajar yang ada di Ponpes tersebut.
"Setelah melapor anak saya dan teman-temannya dipanggil untuk dimintai keterangan. Setelah itu, mereka kembali beraktivitas dengan rasa was-was," bebernya.
Namun bukannya mendapatkan ketenangan, disambung Parlindungan, selang beberapa hari ada pengumuman dari pihak Ponpes yang meminta para santriwati, khususnya kelas 7 agar tidak menceritakan kejadian dugaan pelecehan seksual tersebut kepada orangtuanya masing-masing.
Dengan alasan, persoalan ini tengah diurus pihak Ponpes dan agar tidak menjadi panik bagi santriwati lainnya.
Berdasarkan cerita itu, Parlindungan mengaku langsung meminta bertemu dengan pimpinan Ponpes untuk membicarakan kejadian yang dialami anaknya tersebut.
"Sekitar tanggal 14 November akhirnya kami bertemu dengan salah satu pimpinan Ponpes untuk mengadukan kejadian yang dialami anak kami. Kemudian disarankan untuk datang kembali tanggal 19 November untuk bertemu pimpinan Ponpesnya," kata dia.
Karena merasa percaya pihak Ponpes akan memperketat pengawasan di lingkungannya, lanjut Parlindungan, ia bersama istrinya mengantarkan lagi SZA ke Ponpes untuk belajar seperti biasa pada 15 November.
Sambil menunggu pertemuan dengan pimpinan Ponpes untuk membahas dan meminta pertanggungjawaban atas kejadian yang dialami anaknya.
Namun pada saat waktu pertemuan tiba, Parlindungan tidak mendapati pimpinan Ponpes hadir dalam pertemuan tersebut. Bahkan, karena ketidaktenangan ia bersama istrinya, keduanya memutuskan untuk menjemput anaknya kembali pada 24 November.
"Kami tidak puas dan tidak menerima, karena sepertinya pihak Ponpes tidak menanggapi masalah anak saya dengan serius, maka kami menjemput anak kami kembali ke rumah," imbuhnya.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan pihak ponpes belum memberi klarifikasi terkait adanya dugaan pelecehan seksual. (kontributor bogor/billy adhiyaksa)