Apa yang terjadi pada awalnya adalah konflik politik-pertarungan kekuasaan. Lalu melebar, menggunakan beragam alasan. Legitimasi konflik juga menggunakan berbagai rasionalisasi: ide kesejahteraan, agama, keyakinan, ataupun ideologi yang dipakai sebagai daya tarik bagi penopang kekuasaan. Konflik berkembang makin meluas hingga melibatkan pihak luar.
Dalam situasi keterlibatan pihak luar, basis legitimasi konflik juga semakin meluas dipengaruhi oleh cara pandang geopolitik suatu negara. Rudolf Kjellen misalnya. Ilmuwan Austria pada awal abad ke-17 yang dikenal sebagai pencetus istilah geopolitik tersebut menegaskan bahwa negara layaknya organisasi hidup yang memerlukan ruang ekspansi guna memertahankan eksistensinya.
Demikian halnya dengan Karl Haushofer, seorang pemikir politik Jerman yang dengan dalil geopolitiknya menggagas politik “ruang hidup”. Aplikasi pemikiran tersebut dapat dilihat dalam gerakan ruang hidup (lebensraum) bangsa Jerman untuk memerluas wilayah pasarnya pada masa industrialisasi dimana situasi saat itu, jumlah populasi besar namun berada dalam wilayah yang relatif sempit.
Teori geopolitik yang ekspansionis inilah yang digunakan Hitler untuk membangun Jerman Raya sebagai ambisinya menguasai dunia. Demikian halnya Jepang, Inggris, Perancis, Belanda, Amerika Serikat, dll. Semua bergerak dalam pandangan geopolitik guna memerluas ruang hidup atau lebensraum. Dalam pandangan geopolitik yang ekspansionis tersebut, ketika ada sebuah celah sedikit saja untuk intervensi atas kedaulatan suatu negara merdeka, maka hal itu akan dilakukan. Inilah yang terjadi di Afganistan.
Ketidakmampuan menyelesaikan konflik infernal, telah mengundang Rusia, Amerika Serikat, Inggris, hingga Tiongkok demi ambisi geopolitik atas tata letak strategis Afganistan pada jalur rantai suplai energi yang strategis di Asia Tengah dan Selatan. Demikian halnya di Irak, paska peristiwa 11 September 2001, Irak dijadikan sasaran aksi unilateralisme Amerika Serikat dengan alasan perang terhadap terorisme.
Konflik di seluruh penjuru dunia menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Pancasila sebagai the way of life, falsafah dan cara pandang Indonesia di dalam memainkan peran aktifnya di dunia terbukti efektif. Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan Kebangsaan,
Musyawarah dan Keadilan Sosial mampu menjadi nilai mendasar dalam resolusi konflik. Konflik yang menjadi ancaman nyata bangsa saat ini adalah sektarian, primordialisme, fundamentalisme dan ideologi transnasional seperti komunisme, liberalisme, kapitalisme dan khilafahisme. Kemenangan Taliban di Afganistan membuka perhatian kita agar berbagai pengaruh ekstrimisme dengan menggunakan agama tidak boleh terjadi di Indonesia.
Di sinilah jati diri bangsa menjadi kunci untuk diperkuat relevansinya sebagai benteng kultural di dalam mengatasi konflik, membangun persatuan nasional dan sekaligus melangkah bersama pada cita-cita masa depan.
Dalam perjuangan mencapai masa depan, maka kedisiplinan, keteguhan untuk memegang aturan hukum, penguasaan ilmu pengetahuan-teknologi, dan kewaspadaan sosial harus terus dibangun. Kewaspadaan sosial terus dikedepankan guna mengantisipasi secara dini berbagai kerawanan sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan dan kekerdilan alam pikir.
Selama jati diri bangsa terus diperkuat menjadi karakter yang membanggakan dan pada saat bersamaan, bangsa Indonesia memiliki keyakinan yang sama terhadap arah masa depan, maka berbagai hambatan dan cobaan seperti pandemi saat ini akan bisa diatasi, dan dengan Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, bangsa Indonesia akan dapat merentangkan jalan masa depan yang sangat menjanjikan dalam hal kejayaan, kemakmuran, dan kepeloporan. Opimisme itulah yang selalu penting untuk ditumbuhkan. Merdeka!!!!!!