Berburu Gelar

Minggu 06 Sep 2020, 06:00 WIB
Prof Amir Santoso, guru besar UI, rektor Universitas Jayabaya.

Prof Amir Santoso, guru besar UI, rektor Universitas Jayabaya.

ADA orang yang mati-matian bersekolah tinggi-tinggi untuk mendapat gelar akademik tertinggi yaitu Doktor atau kalau di luar negeri disebut Ph.D. Dan memang benar-benar mati-matian alias bertungkus lumus dan sungsang sumbel. 

Bayangkan di setiap tahapan, mahasiswa itu harus menghadapi ujian beberapa matakuliah. 

Untuk menghadapi ujian tentu mereka harus membaca banyak buku dan jurnal baik berbahasa Indonesia maupun asing.

Jika sudah selesai dan lulus ujian di setiap tahapan tersebut, mereka harus membuat proposal penelitian yang juga harus lulus ujian proposal. Jika ditolak ya harus membuat lagi.

Kalau proposal sudah disetujui maka selanjutnya adalah melakukan penelitian, baik di lapangan maupun di laboratorium. 

Usai melakukan penelitian, datanglah tahapan penulisan disertasi berdasar hasil penelitian dan teori-teori.

Penulisan ini dilakukan dengan bimbingan dan pengawasan profesor pembimbing. Baru setelah penulisan rampung dan disetujui oleh pembimbingnya itu, dilaksanakan ujian tertutup.

Namanya ujian ya ada yang lulus dan yang gagal. Jika tidak lulus ya harus diperbaiki dan ujian lagi sampai lulus. Kalau lulus masih akan ada beberapa perbaikan berdasarkan saran-saran penguji. 

Apabila para penguji sudah menyetujui naskah yang diperbaiki, barulah diadakan ujian terbuka yang disebut promosi Doktor.

Meskipun masih ada pertanyaan yang harus dijawab dalam ujian di depan hadirin, namun biasanya para calon itu akan lulus menjadi Doktor.

Jadi jika dilakukan secara benar, artinya mengikuti semua jalur dan tingkatan pendidikan dari SD, SMP, SMA, terutama S1, S2 dan S3, memperoleh gelar Doktor itu bukan perkara mudah.

Apalagi jika mengambilnya di PT di luar negeri, sudah harus menguasai bahasa asingnya juga hampir semua bukunya berbahasa asing terutama Inggris, Belanda dan Perancis. Naudzubillah.

Tapi dalam pikiran subyektif saya, maaf, menjadi pejabat tinggi itu tampaknya jauh lebih mudah. Lulus SMA juga bisa. 

Malahan pernah ada pejabat tinggi yang hanya lulusan SD. Asalkan kita punya koneksi politik atau aktif sebagai pimpinan parpol, biasanya kita bisa diangkat sebagai pejabat tinggi.

Syukur kalau punya keahlian tertentu, jika tidakpun bisa menjadi penjabat tinggi. Karena itu dalam khasanah medsos ada sebutan pejabat tinggi ahli dan ada pejabat tinggi plonga plongo.

Karena itu harap maklum jika di dunia perguruan tinggi sering timbul kecemburuan dan malahan sakit hati apabila ada perguruan tinggi memberikan gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) kepada pejabat tinggi yang tidak jelas sumbangan pemikirannya dalam bidang dimana dia menjabat, bagi dunia ilmiah atau sumbangannya bagi nusa dan bangsa.

Dulu pernah ada perguruan tinggi memberikan gelar DR HC kepada Bung Karno, Bung Hatta, Sujatmiko, Miriam Budiardjo dll. 

Tapi tidak ada protes karena para Doktor dan Profesor di PT manapun mengakui kehebatan ilmu dan ketokohan serta darma baktinya kepada Nusa dan bangsa.

Nah, sekarang ini ada kecenderungan beberapa PT ingin memberikan gelar DR HC bahkan Prof HC kepada pejabat tinggi. 

Saya tidak tahu apa motif mereka, hanya ada selentingan saja yang kurang enak didengar. Tapi tentu saja kita harus mengakui bahwa semua PT memiliki hak untuk memberikan gelar itu kepada siapa saja.

Saya sendiri selalu berpikiran positif. Artinya mudah-mudahan niat tersebut benar-benar didasarkan atas pertimbangan keahlian dan sumbangsih pejabat yang bersangkutan bagi kemajuan bangsa dan ilmu pengetahuan.

Namun saya juga berharap kepada pejabat siapapun untuk menolak gelar tersebut apabila merasa dirinya tidak layak menerima gelar akademik tertinggi tersebut. 

Ini untuk menghindari suara negatif yang menyatakan “buat apa bersekolah tinggi-tinggi, cukup menjadi pejabat tinggi saja jika ingin gelar Doktor”.

(Prof DR Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

News Update