Nana Sumarna Legenda Pencabik Bass Indonesia

Kamis 21 Mar 2019, 00:45 WIB

DI ANTARA artis musisi dan “anak anak band”, pencabik bass gitar paling jarang disebut dan diekspos, karena posisi mereka yang cenderung di belakang pemain melodi, dan vokalis, atau drummer. Pencabik bass cenderung mem-back up band. Dan posisi itu berpengaruh kepada kepribadiannya yang cenderung ‘low profile’. Nana Sumarna adalah salahsatu legenda di antara pencabik bass itu. Namanya tertera pada dua band pengiring legendaris Indonesia, yang populer di era 1960-an hingga 1970-an, yakni Zaenal Combo (pimpinan Zaenal Arifin) dan Empat Nada (pimpinan A Riyanto). Sederet penyanyi papan atas diiringi dua grup ini, dimana Nana Sumarna menjadi pencabik bassnya. Sebut saja Tetty Kadi, Titiek Sandora-Muchsin, Broery Marantika, Bob Tutupoli dan lainnya. “Empat Nada adalah home band bentukan produser Eugene Timothy untuk mengiringi artis Remaco, “ kata Nana, musisi 72 tahun yang masih aktif bermusik hinga kini. “Masa itu, 90 persen waktu saya kerja di studio, karena banyaknya penyanyi yang harus diiringi.” Pengagum bassis Paul Muriat itu dibesarkan di kawasan Kepu, Kemayoran. Menyelesaikan pendidikan di Perguruan Taman Siswa, bakat musiknya karena pergaulan. “Di Kepu dulu tinggal Idris Sardi, Fuad Hassan (God Bless), Ferly (The Steps) dan lainnya,“ katanya. “Belajar musik dari melihat dan coba coba.“ Nana Sumarna masih kelas 2 SMA ketika diajak masuk studio rekaman dan mengiringi Tetty Kadi. Dan sejak itu berlanjut dengan artis lainnya seperti Titiek Sandora - Muchsin, Patty Bersaudara, Erni Djohan, Arie Koesmiran, dan lainnya. Salahsatu cabikan bassnya yang membekas hingga kini adalah lagu ‘Merantau’ yang dinyanyikan Titiek Sandora, dengan instro bass yang berbeda dari ‘pattern’ cabikan bass umumnya. “Idenya muncul mendadak, “ katanya kepada ‘Pos Kota’ kemarin. PIRINGAN EMAS Pengagum A Riyanto ini diajak oleh musisi jenius itu sejak 1966, diajak serta mendirikan Favourite pada tahap awal, dengan tambahan vokalis Mus Mulyadi, yang menghebohkan musik Indonesia. Grup bentukan baru itu meraih “Piringan Emas” dan menjadi “Band Favorit” pilihan Puspen Hankam ABRI 1972-1973. Nana Sumarna sendiri meraih gelar ‘The Best Bassist Recording’ dalam perayaan Puspen Hankam ABRI (1974). Dia musisi yang sukses rekaman di label label besar pada masanya, yakni ‘Dimita’, ‘Irama’ dan ‘Remaco’. Sebelumnya, bersama Zaenal Combo, dia mengiringi Lilis Suryani, Ernie Djohan, Alfian, duet Tuty Subarjo/Onny Suryono, Retno, Patti Sisters, Tetty Kadi, Anna Mathovani, Emilia Contessa, Yanti Sisters, Aida Mustafa dan lainnya. Ketika rekan rekan seangkatannya, seperti A Riyanto, Is Haryanto, Tonny Koeswoyo, Yon koeswoyo, Charles Hutagalung meninggal satu persatu, Nana masih giat menekuni musik, meski bukan untuk profesi seperti dulu. “Saya pernah usaha bengkel dan jual beli mobil, tapi gagal. Nggak bakat, “ katanya sembari menertawakan disi sendiri. Di usianya yang ke 72 tahun, kini ayah empat anak dan kakek dari lima cucu kelahiran 10 Januari 1947 ini mewariskan pemain bassnya pada si bontot, Irwan Batara, yang menjadi bassis band ‘Stinky’ dan melahirkan lagu “Mungkinkah” (2016) yang mempopulerkan nama Andre Taulani dan Band Stinky itu. Nana Sumarna masih sering manggung untuk acara nostalgia musik era 1970-an dan acara ‘klangenan’. Dia mengaku masih kontak dengan penyanyi lawas, yang dulu diiringinya, meski tak intens. “Kalau sama Aida Mustafa satu grup WA jadi kontak tiap hari, “ katanya. Nama Nana Sumarna sering dikaitkan dengan May Sumarna, si ‘Burung dalam Sangkar’. Ketika dikonfirmasi, Nana tertawa. “Kami berteman sebagai sesama musisi, tapi tidak ada hubungan keluarga, “ katanya seraya menjelaskan dia berasal dari Cirebon, sedangkan May Sumarna dari Bogor. – dimas.


News Update