POSKOTA.CO.ID - Perhatian publik terhadap sikap dan empati pejabat negara kembali menguat setelah Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menjadi sorotan warganet.
Perbincangan tersebut dipicu oleh sebuah unggahan media sosial yang memperlihatkan Zulkifli Hasan tengah menikmati kuliner khas Aceh berupa sate, sembari memegang cerutu, di sela-sela kunjungannya ke wilayah terdampak bencana alam di Aceh.
Unggahan itu pertama kali dibagikan oleh akun Instagram @aceh.indonews pada Minggu, 14 Desember 2025. Dalam narasinya, akun tersebut menyampaikan ucapan terima kasih kepada Zulkifli Hasan yang disebut singgah di Sate Tubaka saat melakukan kunjungan ke lokasi bencana.
Video yang beredar diketahui merupakan rekaman dari Instagram Story akun kuliner @satetubakaasli, yang kemudian menyebar luas dan mengundang beragam reaksi publik.
Bagi sebagian masyarakat, visual tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Bencana alam yang masih menyisakan duka mendalam bagi warga Aceh dinilai kontras dengan citra pejabat yang tampak menikmati hidangan dan cerutu. Sejumlah komentar warganet menyoroti aspek empati dan sensitivitas sosial seorang pejabat publik dalam situasi krisis kemanusiaan.
Salah satu komentar yang mencerminkan kekecewaan publik datang dari akun @imamsyuhermi59. Ia menilai perilaku tersebut mencerminkan jarak emosional antara pejabat dan rakyat.
Komentar itu menggambarkan perasaan pilu atas kondisi warga yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, sementara pejabat dianggap berada dalam posisi yang lebih nyaman.
Ungkapan semacam ini memperlihatkan bahwa masyarakat tidak hanya menilai kebijakan, tetapi juga gestur dan simbol yang ditampilkan pemimpin negara.
Kontroversi ini tidak berdiri sendiri. Warganet juga mengaitkannya dengan peristiwa sebelumnya, ketika Zulkifli Hasan terlihat memanggul karung beras saat mengunjungi lokasi bencana di Koto Panjang Ikur Koto, Padang, pada 1 Desember 2025. Aksi tersebut sempat viral dan menuai kritik karena dinilai sebagai bentuk pencitraan.
Meski Zulkifli Hasan telah menyatakan bahwa tindakan itu merupakan kebiasaan pribadinya saat menyalurkan bantuan, sebagian publik tetap memandangnya secara skeptis.
Keterkaitan dua peristiwa ini memperkuat narasi kritik di ruang digital. Sebuah komentar singkat dari akun @zavierl__f, “Cigarette after manggul beras,” menjadi simbol ironi yang dirasakan warganet.
Kalimat tersebut mencerminkan persepsi publik tentang ketidaksinkronan antara simbol kepedulian dan perilaku yang ditampilkan setelahnya.
Namun demikian, tidak semua respons bersifat kecaman. Ada pula warganet yang mengarahkan kritik kepada pihak pengunggah konten. Akun @zakia_6373lbi menilai bahwa unggahan tersebut seharusnya tidak dipublikasikan mengingat konteks musibah yang masih berlangsung.
"Etika makan nya dimana itu , ada ya org makan sambil ngudut ?? Bnyk org lo disitu kalau ada org yg sensitif bau sama asap rokok gimana" ujar @ath***
"Nikmat betul pak bak mafia.... Rakyat ditelantarkan pajak diperas" ujar @nie***
"Abis pencitraan gendong beras langsung ngudud cerutu plus makan2 mewah" ujar @set***
Pendapat ini mendapat ratusan tanda suka dan memicu diskusi panjang mengenai etika bermedia sosial, khususnya saat melibatkan pejabat dan isu kemanusiaan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi ruang evaluasi publik terhadap moral dan empati pejabat negara. Di era sekarang, setiap gambar dan video dapat dimaknai melampaui konteks aslinya.
Baca Juga: Total Kerugian 105 Bangunan Rusak di Jakarta Akibat Angin Kencang Sepanjang Januari - Desember 2025
Publik tidak hanya menuntut kehadiran fisik pejabat di lokasi bencana, tetapi juga kepekaan emosional dan simbolik dalam setiap tindakan yang terekam kamera.
Hingga kini, Zulkifli Hasan belum memberikan pernyataan resmi terkait polemik tersebut. Akun Instagram pribadinya @zul.hasan justru dipenuhi komentar bernada sindiran dan pertanyaan dari warganet.
Situasi ini mencerminkan meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap transparansi dan empati pejabat publik, terutama ketika mereka hadir di tengah penderitaan rakyat.
Secara lebih luas, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kepemimpinan tidak hanya diukur dari kebijakan dan bantuan material, tetapi juga dari kemampuan memahami emosi kolektif masyarakat.
Di tengah bencana, simbol kecil seperti sikap, gestur, dan waktu menjadi sangat bermakna. Kepekaan terhadap hal-hal tersebut dapat menentukan apakah kehadiran pejabat dipersepsikan sebagai bentuk solidaritas atau justru menimbulkan luka baru bagi publik yang tengah berduka.