Kasus Gangguan Kesehatan Jiwa Penduduk Jakarta, Pengamat Ungkap Penyebabnya

Jumat 28 Nov 2025, 22:07 WIB
Pengamat membeberkan penyabab gangguan kejiwaan pada penduduk Jakarta. (Sumber: Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar)

Pengamat membeberkan penyabab gangguan kejiwaan pada penduduk Jakarta. (Sumber: Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pengamat mengungkapkan penyebab kesehatan jiwa penduduk di Jakarta bermasalah. Prevalensi depresi masyarakat berada pada angka 1,5 persen, lebih besar daripada angka nasional sebesar 1,4 persen.

Pengamat kesehatan, Dicky Budiman mengatakan, kelompok usia 15–24 tahun merupakan kelompok dengan prevalensi depresi tertinggi, baik di Indonesia maupun dunia.

Selain itu, perempuan juga konsisten menunjukkan angka depresi lebih tinggi dalam berbagai survei global. Sementara pada lansia, isolasi sosial dan penyakit kronis menjadi pemicu utama.

“Lansia yang kehilangan dukungan sosial atau mengalami isolasi itu sangat rentan,” kata Dicky kepada Poskota, Jumat, 28 November 2025.

Baca Juga: Gangguan Kesehatan Jiwa Warga Jakarta, Pemprov Sebut Imbas Tekanan Hidup di Ibu Kota

Dicky menjelaskan bahwa terdapat sejumlah faktor risiko utama pemicu depresi, terutama di kota besar, di antaranya:

  • Stres sosial-ekonomi: pengangguran, PHK, biaya hidup tinggi, ketidakstabilan pekerjaan.
  • Tekanan kompetitif perkotaan: tuntutan kerja, perbandingan sosial, kurangnya waktu istirahat.
  • Isolasi sosial dan urban loneliness.
  • Lingkungan fisik yang buruk: polusi udara, polusi air, kebisingan, kurang ruang hijau.
  • Peristiwa hidup atau trauma, seperti masalah keluarga dan bencana.
  • Stigma dan minimnya akses layanan kesehatan mental.
  • Penyalahgunaan alkohol dan narkotika, yang memperburuk kondisi mental.

“Semua faktor ini saling berinteraksi dan meningkatkan risiko pada individu yang sudah rentan,” ujar dosen kebijakan kesehatan masyarakat dan keamanan kesehatan global tersebut.

Di kota-kota besar dunia, seperti Tokyo, Seoul, dan Shanghai, angka depresi dan kecemasan bisa jauh lebih tinggi terutama pada remaja dan pekerja urban yang menghadapi tekanan kompetitif.

Baca Juga: Gangguan Kejiwaan Warga Jakarta, Dinkes Tingkatkan Layanan Jiwa

"Banyak orang tidak mengaku mengalami gejala berat, atau tidak mendapat diagnosis formal. Ini otomatis membuat angka prevalensi terdeteksi lebih kecil dibandingkan kondisi nyata,” tuturnya. (cr-4)


Berita Terkait


News Update