Kopi Pagi: Regenerasi Petani Bukanlah Mimpi. (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Regenerasi Petani Bukanlah Mimpi

Kamis 25 Sep 2025, 06:18 WIB

Profesi petani akan diminati, jika ada kepastian jaminan sosial, taraf hidupnya meningkat,adanya dukungan kelembagaan keuangan. Terbuka peluang mewujudkan kedaulatan dan kemandirian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya..”, kata Harmoko.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris adalah historis. Sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, tidaklah terbantahkan, data statistik masih menyebutkan demikian. Meski, sebutan itu, patut direnungkan seiring kian menyusutnya jumlah petani produktif, alih fungsi lahan pertanian semakin masif mendorong arus urbanisasi yang ekspansif.

Data statistik menyebutkan jumlah petani terus menurun.Tahun 2013 misalnya jumlah petani masih mencapai 31,70 juta. Saat ini sebanyak 29,34 juta, turun sekitar 7,45 persen. Bahkan, di sejumlah daerah angka penurunan lebih tinggi, di Yogyakarta misalnya penurunan mencapai 26,26 persen atau sekitar 153 ribu petani dalam 10 tahun terakhir.

Baca Juga: Kopi Pagi: Damai Itu Bersahabat

Bukan hanya penurunan jumlah petani, juga tiadanya regenerasi petani, mengingat jumlah petani muda (berusia 20 – 39 tahun) hanya sekitar 8 persen, sisanya mayoritas berusia 50 – 60 tahun.

Jika demikian halnya, lantas bagaimana kondisinya pada 20 tahun mendatang, berbarengan dengan era Indonesia Emas.

Maknanya, kaum muda ogah menjadi petani meneruskan profesi orang tuanya sebagai petani, terlebih mereka yang bukan berasal dari keluarga petani. Kaum muda berpandangan bahwa petani adalah profesi kurang menarik, konvensional, tidak produktif dan tidak menjanjikan peningkatan kesejahteraan.

Imej semacam ini tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan, mengingat kesejahteraan petani yang cenderung stagnan, sulit berkembang, jika tidak dikatakan memprihatinkan.

Acap menghadapi kenyataan,di saat musim tanam harga komoditas pangan membaik, begitu panen tiba, ketika memetik hasil, harga jual anjlok tak sebanding dengan biaya produksi, termasuk ongkos panen.

Cukup beralasan jika nasib petani- boleh dibilang tak berbanding lurus (linier) dengan hasil pertanian mereka. Hasil produksi yang meningkat tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan.

Baca Juga: Kopi Pagi: Menyatu dengan Alam

Jangan pula capaian swasembada pangan cukup menggembirakan, tetapi kesejahteraan petani masih sebatas harapan. Ini tentu bukan harapan kita, bahkan para founding fathers dan tokoh bangsa sudah sejak awal  berupaya mengangkat harkat dan martabat para petani.

Tanpa petani, boleh jadi, kita akan terus bergantung dengan pangan yang diproduksi bangsa lain. Sementara  pepatah  menyebutkan “ negara yang kuat adalah negara yang mampu memberi makan rakyat dari tanahnya sendiri.”

Meningkatkan taraf hidup petani menjadi prioritas karena sejatinya mereka adalah pahlawan negeri.

Tidak terbantahkan, dengan segala keterbatasan yang ada, di tengah beragam tantangan yang menghadang, para petani tiada henti memproduksi pangan untuk negerinya, bangsanya sendiri.

Hendaknya, peran penting petani dalam menjaga kedaulatan pangan tak sebatas pengakuan. Begitu juga kesejahteraan petani menjadi prioritas, tak sebatas di atas kertas, tanpa realitas.

Bicara kesejahteraan berarti menyangkut peningkatan pendapatan petani, akses terhadap fasilitas dan layanan yang memadai, serta perlindungan terhadap hak-hak mereka, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” edisi 25 Maret 2021 dengan judul “Peduli Petani Perlu Bukti’.

Tak kalah pentingnya melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi dan gagal panen.

Kita tentu tak ingin warga desa menjadi petani karena terpaksa untuk menyambung hidup akibat tiadanya pekerjaan lain.  Yang muda pergi ke kota, terjadilah urbanisasi besar – besaran, muncul problema baru: Di desa tanpa regenerasi petani, di kota menumpuk angkatan kerja baru.

Baca Juga: Kopi Pagi: Arah Demokrasi Kita

Sejatinya regenerasi petani untuk membangun kedaulatan pangan berkelanjutan bukanlah mimpi. Kuncinya, peningkatan kesejahteraan petani telah teruji dan terbukti. Ini hendaknya menjadi program jangka pendek yang diselaraskan dengan capaian program swasembada pangan yang kini tengah digelorakan.

Profesi petani akan diminati, jika ada kepastian jaminan sosial, taraf hidupnya meningkat, adanya dukungan kelembagaan keuangan. Terbuka peluang mewujudkan kedaulatan dan kemandirian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya.

Regenerasi petani pun harus dilakukan dengan mengedukasi bahwa petani adalah profesi bergengsi dan panggilan negeri. Selain, edukasi melalui lembaga pendidikan formal lewat kurikulum mengenai pertanian, produk pangan sehat. pengenalan agrowisata dan masih banyak lagi guna membangun minat generasi muda membangun negeri sendiri dengan menjadi petani profesional.

Peringatan Hari Tani Nasional, 24 September, bisa menjadi momentum untuk kian peduli meningkatkan kesejahteraan petani sebagai salah satu kunci mengaktualisasikan regenerasi petani.

Gelora mewujudkan swasembada pangan hendaknya selaras dengan upaya meningkatkan pendapatan petani. Dengan harapan, pencapaian program swasembada pangan akan linier dengan tingkat kesejahteraan petani. Azisoko) 

Tags:
Hari Tani NasionalHarmokoKopi Pagisektor pertaniannegara agrarispetani

Tim Poskota

Reporter

Fani Ferdiansyah

Editor