POSKOTA.CO.ID - Tanggal 28 Agustus 2025 menjadi salah satu catatan kelam dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Aksi demo buruh yang sejatinya menyuarakan hak-hak dasar pekerja justru berujung duka mendalam.
Publik dikejutkan dengan rekaman viral yang memperlihatkan mobil taktis barracuda milik Brimob Polri melaju kencang, menembus kerumunan, hingga melindas seorang driver ojek online bernama Affan Kurniawan (21 tahun).
Affan, yang saat itu turut berada di lokasi, seketika menjadi korban dari tindakan represif aparat. Video tersebut dengan cepat menyebar di TikTok, Instagram, hingga X (Twitter), memunculkan gelombang amarah publik.
Peristiwa itu pun membuka perdebatan besar apakah kendaraan tempur layak dihadirkan di tengah aksi rakyat yang seharusnya dilindungi?
Baca Juga: Prabowo Subianto Perintahkan Usut Tuntas Kasus Mobil Rantis Lindas Ojol
Latar Belakang Aksi 28 Agustus 2025
Aksi demonstrasi yang digelar saat itu membawa sejumlah tuntutan, di antaranya:
- Penolakan sistem outsourcing dan PHK massal.
- Desakan agar RUU Ketenagakerjaan disahkan tanpa nuansa Omnibus Law.
- Tuntutan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
- Reformasi pajak buruh dan penghentian eksploitasi pekerja.
- Dorongan pemberantasan korupsi melalui pengesahan RUU Perampasan Aset.
- Tuntutan revisi RUU Pemilu untuk sistem demokrasi yang lebih adil.
Sayangnya, alih-alih aspirasi mendapat ruang dialog, aksi berujung kekerasan. Kehadiran barracuda Brimob yang seharusnya menjaga keamanan justru menjadi simbol ketakutan.
Barracuda: Fungsi Awal yang Tergelincir
Secara desain, rantis barracuda adalah kendaraan taktis dengan misi utama pengendalian massa, operasi antiterorisme, hingga pengamanan konflik horizontal.
Barracuda pertama kali diperkenalkan sebagai bagian dari modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) Polri. Tercatat ada 44 unit yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Kendaraan ini didesain agar mampu memberikan perlindungan maksimal bagi aparat dalam kondisi rawan. Namun, insiden 28 Agustus 2025 memperlihatkan jurang besar antara fungsi ideal dan praktik lapangan.
Alih-alih menciptakan rasa aman, barracuda justru menjadi malaikat maut bagi rakyat kecil seperti Affan Kurniawan.
Spesifikasi Teknis Barracuda Brimob
Publik menyoroti detail teknis kendaraan yang menelan biaya fantastis namun dipakai dengan cara yang merenggut nyawa rakyat.
Beberapa spesifikasi utama barracuda:
- Bodi baja setebal 8 mm mampu menahan peluru kaliber 7,62 mm.
- Kaca pelindung 4 mm dilapisi baja untuk daya tahan ekstra.
- Run Flat Tyres, memungkinkan tetap melaju 80 km/jam meski ban bocor.
- Kapasitas 12 personel, termasuk sopir dan komandan regu.
- Senjata terintegrasi:
- Senapan Mesin Berat (SMB) Browning M2HB kaliber 12,7 mm.
- Senapan Mesin Sedang (SMS) kaliber 7,62 mm.
- Mesin diesel Mercedes Benz OM 924 LA, 4 silinder, kapasitas 3.730 cc.
- Basis sasis: Truk 5000 buatan Jerman untuk ketahanan di medan ekstrem.
Dari sisi fungsi, kendaraan ini jelas dirancang untuk perang dan anti-teror, bukan menghadapi massa sipil yang menuntut hak.
Harga Fantastis: Beban dari Pajak Rakyat
Kemarahan publik semakin membara setelah beredar informasi bahwa harga satu unit barracuda mencapai nyaris Rp 1 triliun.
Unggahan akun IG @zulfridahk menampilkan tangkapan layar dari dokumen Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang menunjukkan detail harga fantastis tersebut.
Pertanyaan pun muncul:
- Mengapa uang rakyat digunakan untuk membeli kendaraan militeristik, alih-alih mendukung kesejahteraan rakyat?
- Bagaimana logika pengamanan yang justru membahayakan masyarakat sipil?
Bagi banyak orang, tragedi Affan adalah simbol ketidakadilan: “pajak rakyat digunakan untuk membeli kendaraan yang membunuh rakyat.”
Peristiwa ini menyisakan luka mendalam. Affan Kurniawan bukan hanya nama, ia adalah representasi anak muda pekerja keras yang mencari nafkah sebagai driver ojol.
Tragedi ini menimbulkan trauma kolektif—bukan hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi ribuan buruh dan warga yang menyaksikan langsung maupun lewat layar ponsel.
Manusia yang seharusnya dilindungi, justru terinjak oleh simbol kekuasaan yang mestinya menjaga. Ironi terbesar hadir ketika alat pelindung berubah menjadi alat penindas.
Reaksi Publik dan Media Sosial
Gelombang kritik datang dari berbagai lapisan masyarakat:
- Tagar #AffanKurniawan dan #JusticeForOjol menjadi trending di media sosial.
- Aktivis HAM menuntut transparansi investigasi dan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
- Warganet membandingkan fungsi barracuda dengan “tank perang” yang digunakan melawan rakyat sipil.
Beberapa tokoh publik juga angkat bicara, menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh berjalan dengan darah rakyat.
Baca Juga: Apa Fungsi dan Spesifikasi Mobil Rantis Brimob Polri yang Lindas Driver Ojol Affan Kurniawan
Tanggung Jawab Institusional
Pasca kejadian, Polri mengumumkan bahwa 7 anggota Brimob ditahan untuk diperiksa. Kapolri juga berjanji mengusut tuntas kasus ini dan memberikan sanksi tegas.
Namun, publik masih menaruh curiga. Akankah investigasi benar-benar transparan? Ataukah hanya menjadi catatan singkat dalam sejarah panjang represifitas aparat di Indonesia?
Kasus ini membuka diskursus yang lebih luas:
- Apakah Indonesia membutuhkan kendaraan semacam barracuda untuk menghadapi aksi damai rakyat?
- Bagaimana alokasi anggaran pertahanan dan keamanan bisa lebih diarahkan pada kesejahteraan sosial?
- Apakah demokrasi kita sudah kebal terhadap militerisasi ruang sipil?
Refleksi ini penting agar tragedi Affan Kurniawan tidak menjadi sekadar angka statistik.
Tragedi 28 Agustus 2025 seharusnya menjadi momentum evaluasi besar-besaran. Demokrasi sejati hanya bisa tegak jika aparat benar-benar menjadi pengayom, bukan penindas.
Affan Kurniawan mungkin telah tiada, namun kisahnya menjadi pengingat bahwa hak hidup dan martabat manusia harus selalu ditempatkan di atas segalanya.
Semoga luka ini mendorong perubahan nyata agar kendaraan tempur tak lagi menggilas rakyat, dan agar suara keadilan tak lagi dikubur di bawah roda barracuda.