KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Indonesia menghadapi ancaman siber yang sangat serius, dengan Jakarta disebut sebagai markas asal serangan siber terbesar di tanah air. Berdasarkan laporan AwanPintar.id, sebanyak 48,58 persen serangan siber dalam negeri berasal dari Jakarta.
Ketua Umum Indonesia Cybersecurity Forum (ICSF), Ardi Sutedja, menyampaikan, tidak semua serangan siber berasal dari Jakarta.
Sebab, banyak pelaku memanfaatkan celah keamanan di Jakarta sebagai proksi untuk melancarkan serangan.
Salah satu kelemahan utama adalah penggunaan kartu prabayar yang dapat dibeli bebas tanpa verifikasi identitas, yang sering dimanfaatkan untuk menyamarkan asal serangan.
“Jakarta menjadi sasaran karena merupakan pusat pemerintahan, ekonomi, pasar modal, dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) nasional. Ini membuat Jakarta rentan dijadikan proksi oleh pelaku dari luar,” jelas Ardi saat dihubungi Poskota, Sabtu, 23 Agustus 2025.
Bahkan, kata Ardi, banyak ancaman siber yang tidak terdeteksi atau tidak memiliki nama masih menjadi tantangan besar.
Ia memperingatkan bahwa tanpa langkah serius, Indonesia berisiko menghadapi serangan siber yang lebih besar, yang berpotensi melumpuhkan ekonomi nasional. Dia juga menegaskan tidak cukup jika hanya mengandalkan firewall tidak cukup.
“Kita harus mengatasi celah-celah kerentanan, termasuk memperketat regulasi kartu prabayar dan meningkatkan sistem keamanan di infrastruktur kritis,” ucap Ardi.
Mirisnya, lanjut Ardi, berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sejak Januari hingga Juli 2025 tercatat sebanyak 3,64 miliar anomali siber yang menargetkan Indonesia.
Baca Juga: Bali Sempat Mati Total, PLN Bantah Gara-gara Serangan Siber
Angka ini mencerminkan tingkat kerentanan yang sangat tinggi, yang digambarkan Ardi sebagai “lampu kuning” bagi keamanan siber nasional.
“Angka 3,64 miliar ini menunjukkan kita tidak berdaya menghadapi serangan siber dalam skala besar. Kita sedang berhadapan dengan fenomena puncak gunung es, di mana yang terlihat hanyalah sebagian kecil dari ancaman sebenarnya,” tegas Ardi.
Ardi menyoroti bahwa sektor infrastruktur kritis, seperti kelistrikan, industri keuangan, dan layanan kesehatan, menjadi target utama serangan siber. Selain itu, sektor pemerintahan juga sangat rawan, sebagaimana dibuktikan oleh kasus penembusan keamanan pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS).
“Kasus PDNS menunjukkan betapa rentannya sektor pemerintahan di Indonesia,” tegas Ardi.
Lebih lanjut, Ardi juga mengungkapkan bahwa data pribadi pasien di sektor kesehatan kini semakin menjadi incaran. Lembaga atau institusi dengan basis konsumen besar menjadi sasaran empuk bagi pelaku siber.
Karena itu, ia menekankan bahwa sumber daya manusia (SDM) di bidang keamanan siber Indonesia masih sangat terbatas. Sehingga perlu meningkatkan kapasitas SDM siber secara signifikan untuk mengatasi ancaman yang terus berkembang.
“Kita jangan bermimpi muluk. Secara kuantitas mungkin banyak, tapi kualitasnya masih jauh dari cukup," kata Ardi.
Ardi memperingatkan bahwa situasi saat ini tidak boleh dianggap biasa. Dengan ancaman siber yang terus meningkat, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperkuat pertahanan digitalnya.
Langkah cepat dan terkoordinasi menjadi kunci untuk mencegah krisis yang lebih parah di masa depan.
“Jika kita tidak bertindak, kita hanya menunggu waktu sebelum ekonomi kita kolaps akibat serangan siber yang lebih besar,” ucap Ardi.