POSKOTA.CO.ID - Beasiswa dalam pandangan umum sering dipahami hanya sebagai bantuan finansial bagi mahasiswa berprestasi atau kurang mampu.
Namun, Ferry Irwandi melalui Malaka Project menghadirkan tafsir baru tentang apa arti sebuah beasiswa. Lewat inisiatif Beasiswa Revolusi, ia ingin menekankan bahwa dukungan pendidikan tidak berhenti pada uang kuliah, melainkan menyentuh dimensi yang lebih fundamental: membangun mahasiswa yang kritis, berani bersuara, dan kreatif dalam mencari solusi.
Keunikan program ini terlihat sejak awal. Bukan lembaga negara atau korporasi besar yang menginisiasinya, melainkan lahir dari gerakan sosial independen.
Dana yang terkumpul bukan berasal dari sponsor besar, melainkan hasil penjualan kaos yang justru berhasil mencetak rekor penjualan 2.100 potong habis dalam sehari, menghasilkan lebih dari Rp400 juta. Fakta ini menunjukkan bahwa ide revolusioner bisa digerakkan dari ruang sederhana, asal memiliki visi yang jelas.
Baca Juga: Pemkab Bogor dan Pemkot Depok Resmikan Pasar Rakyat Citayam
Dua Jalur Seleksi: Konvensional dan Golden Ticket
Dalam pengumuman terbarunya melalui channel Youtube @Ferry Irwandi, Ferry menjelaskan mekanisme seleksi beasiswa yang berbeda dari kebanyakan program lain. Ada dua jalur utama yang ditawarkan:
- Jalur Konvensional
Pada jalur ini, mahasiswa diminta mengirimkan video karya yang berisi gagasan kritis. Ribuan video diterima, dan Ferry menilai berdasarkan substansi, cara penyampaian, serta kreativitas visual.
Awalnya, ia berencana hanya memilih lima finalis. Namun, melihat kualitas dan semangat yang muncul, ia memperluas menjadi sepuluh finalis. Dari sepuluh tersebut, dua orang berhak menerima beasiswa penuh, sementara delapan lainnya tetap mendapat dukungan biaya kuliah satu semester, akomodasi, transportasi, dan kesempatan berkarya di Malaka Project. - Jalur Golden Ticket
Jalur ini menghadirkan elemen kompetisi digital. Mahasiswa otomatis lolos bila konten bertema kritik sistem pendidikan yang mereka buat berhasil menembus lima juta penonton di TikTok atau satu juta penonton di YouTube.
Jalur ini bukan hanya strategi seleksi, tetapi juga cara untuk menguji keberanian mahasiswa dalam mengekspresikan gagasan secara publik di tengah arus digitalisasi.
Kisah Viral: Muhammad Amin dan TikTok 5,1 Juta Views
Peserta pertama yang meraih golden ticket adalah Muhammad Amin, dengan video TikTok-nya yang menembus 5,1 juta views. Dalam video tersebut, Amin menyoroti kritik tajam: kampus dianggap lebih sibuk mengejar akreditasi dan pembangunan gedung megah, ketimbang benar-benar memikirkan masa depan mahasiswa.
“Perguruan tinggi bukan tempat jual beli ijazah. Tapi kenyataannya hari ini terasa seperti itu,” ucapnya.
Pernyataan ini menjadi viral karena mewakili keresahan banyak mahasiswa Indonesia. Kritik Amin bukan sekadar kata-kata, melainkan refleksi dari realitas yang kerap ditutupi jargon akademik.
Finalis Jalur Konvensional: Kritik Tajam dari Dalam Kampus
Sepuluh finalis jalur konvensional juga menampilkan keberanian serupa. Mereka mengangkat isu yang sering dirasakan mahasiswa, namun jarang terdengar di ruang formal. Beberapa di antaranya antara lain:
- Keluhan soal kuliah yang hanya berisi presentasi monoton tanpa dialog bermakna.
- Kritik terhadap peringkat universitas di Indonesia yang dianggap ilusi belaka.
- Seruan ekstrem seperti “Bubarkan saja fakultas hukum, karena keadilan bisa dibeli dengan uang di bawah meja.”
Pernyataan-pernyataan ini mungkin terdengar kontroversial, namun justru di situlah letak nilai Beasiswa Revolusi. Ia memberi ruang agar suara mahasiswa tidak dibungkam oleh formalitas institusi.
Dalam banyak kesempatan, Ferry menegaskan bahwa Beasiswa Revolusi bukan sekadar tentang uang kuliah. Lebih dari itu, ia ingin menciptakan ruang latihan berpikir kritis.
“Kita harus bisa melihat masalah dengan benar untuk menemukan solusi yang benar. Critical thinking dan kreativitas itu harus jalan,” tegasnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari dimensi kultural. Perguruan tinggi bukan hanya tempat transfer ilmu, melainkan arena pertarungan gagasan. Jika mahasiswa hanya diarahkan mengejar gelar, pendidikan akan kehilangan ruhnya. Namun, jika mahasiswa dibiasakan berpikir kritis, mereka bisa menjadi agen perubahan di masyarakat.
Mengapa Kritik Mahasiswa Penting?
Bagi sebagian orang, kritik mahasiswa mungkin dianggap berlebihan atau sekadar bentuk perlawanan emosional. Namun, bila dilihat dari sejarah, mahasiswa selalu menjadi motor perubahan. Dari gerakan 1966, reformasi 1998, hingga kritik digital di era kini, mahasiswa selalu membawa suara yang menolak diam terhadap ketidakadilan.
Dalam konteks pendidikan hari ini, kritik mahasiswa menjadi vital karena:
- Membongkar kebiasaan birokrasi kampus yang kerap sibuk dengan administratif.
- Menyuarakan realitas mahasiswa sehari-hari yang sering luput dari perhatian.
- Mendorong transparansi dan akuntabilitas lembaga pendidikan.
- Membentuk budaya berpikir kritis yang kelak berguna di dunia kerja maupun masyarakat luas.
Beasiswa Revolusi berfungsi sebagai wadah yang menginstitusikan peran kritik tersebut.
Humanisasi Beasiswa: Dari Kaos ke Revolusi
Yang menarik, program ini bukan lahir dari jalur formal atau lembaga resmi. Ferry memulai dengan sesuatu yang sederhana: menjual kaos. Dalam sehari, 2.100 kaos habis, menghasilkan lebih dari Rp400 juta. Uang itu seluruhnya dialokasikan untuk beasiswa.
Bagi banyak orang, hal ini memberi pesan moral: gerakan sosial bisa dimulai dari tindakan kecil yang kolektif. Kaos yang biasanya hanya produk fesyen, berubah menjadi medium revolusi pendidikan. Ada humanisasi dalam proses ini bahwa solidaritas bisa membiayai masa depan generasi muda.
Harapan dan Tantangan
Dengan diumumkannya sepuluh finalis dan satu penerima golden ticket, Beasiswa Revolusi membuka babak baru. Harapannya sederhana namun besar: melahirkan mahasiswa yang berani bersuara, tidak sekadar mengejar gelar, dan mampu mengubah arah pendidikan.
Namun, tantangannya pun nyata:
- Bagaimana memastikan keberlanjutan pendanaan tanpa hanya mengandalkan penjualan kaos?
- Bagaimana menjaga agar kritik tidak berhenti sebagai retorika, melainkan menghasilkan aksi nyata?
- Bagaimana menyeimbangkan kritik yang tajam dengan konstruksi solusi yang realistis?
Pertanyaan-pertanyaan ini sekaligus menjadi agenda yang harus dijawab oleh Beasiswa Revolusi ke depan.
Selamat Datang di Masyarakat Baru
Ferry menutup pengumumannya dengan kalimat penuh makna “Selamat datang di masyarakat baru.” Kalimat ini bukan sekadar ucapan seremonial, melainkan deklarasi simbolis bahwa sebuah revolusi pendidikan telah dimulai.
Revolusi ini tidak dimulai dari gedung tinggi, melainkan dari ruang digital, dari video mahasiswa, dari penjualan kaos, dari suara-suara kecil yang berani.
Jika gerakan ini terus tumbuh, mungkin suatu saat pendidikan Indonesia benar-benar akan bertransformasi bukan hanya melahirkan lulusan dengan ijazah, tetapi manusia dengan keberanian intelektual.