Ekonomika Pancasila oleh Yudhie Haryono (Sumber: Dok. Poskota)

SERBA-SERBI

Ekonomika Pancasila: Rekapitalisasi Kekayaan Nasional

Rabu 06 Agu 2025, 13:55 WIB

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)

Tekor. Defisit. Besar pasak daripada tiang. Itulah postur 11 tahun terakhir APBN kita. Tahun 2024, APBN kita sebesar Rp2820 triliun. Namun, catatan utang pemerintah per September 2024 Rp8.473 triliun.

Sementara itu, anggaran dua sektor publik pro rakyat hanya Rp853 triliun, yaitu anggaran pendidikan 2024 Rp665 triliun dan anggaran kesehatan 2024 Rp.188 triliun. Itupun kini pelakunya industri besar. Saat bersamaan, anggaran untuk infrastruktur 2024 Rp147 triliun. Ini juga pelakunya para oligark dan konglomerat.

Apa kesimpulannya? Ini adalah kegagalan sistemik pola pengelolaan APBN dan tidak mencerminkan ekonomi pancasila. Pasalnya, utang yang menggunung pasti menyebabkan nilai tukar rupiah jatuh (Inflasi) dan pasti akan mengakibatkan ketergantungan terhadap pemberi utang. Kita pasti mengalami 6i: investasi, intervensi, inflasi, infiltrasi, instabilitas dan berujung pada invasi. Adakah solusinya?

Ada. Rekapitalisasi. Itulah salah satu jawabannya. Rekapitalisasi ini penting terutama di BUMN kita. Ini adalah kesadaran memastikan sumber-sumber pendanaan negara sehat. Hal ini penting karena selama ini kekayaan negara di BUMN dibuat menjadi: a)Merugi, b)Sumber KKN, c)Praktek mark up, d)Praktek prifatisasi, e)Beban utang negara, f)Bancakan elite parpol yang berada di eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Restrukturisasi dan Redistribusi Aset

Saat APBN kita minus karena sumbernya kempes (pajak, cukai dan utang) maka program ini menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Potensinya sangat besar dan konstitusional. Inilah program mewargakan ekonomi dan mengekonomikan warga: soko guru keekonomian kita. Inilah yang akan merubah secara riil arsitektur ekopol kolonial menjadi ekopol berdaulat, berkesejahteraan, bermartabat dan berkeadilan.

Memang ini tak mudah. Perlu komitmen kita semua. Terlebih KKN makin merajalela dan jadi agama elite serta penguasa. Dampaknya, program pemulihan ekonomi hancur sehingga marak PHK; meningkatnya pengangguran, bertambahnya penduduk miskin dan menurunnya tingkat daya beli masyarakat, serta bangkrutnya sektor industri kecil menengah karena kekurangan modal.

Semua ini bersumber dari lemahnya kepemimpinan nasional, hilangnya etos nasionalisme, defisit mental pancasila, rabun konstitusi serta jumbuhnya pejabat-penjahat di semua tempat.

Kepemimpinan lemah itu karena defisit visi besar, kurang misi proyektif, menumpuk janji tanpa realisasi, surplus mengeluh, hobi menyalahkan masa lalu, ilusi populer, rindu pujian dan jilatan, pola pikirnya “poverty” (kekurangan) bukan pola pikir “abundance” (kelimpahan). Semua berujung pada: tak tahu diri plus tak tahu malu.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Di Bawah Bendera Pengangguran

Elit kepemimpinan kita defisit cinta republik. Mereka kini tak punya sense of belonging pada nasionalisme. Uripe kagak urup. Padahal, cinta itu kemulian. Oleh karena cinta, seseorang akan melakukan aktivitas yang baik, inovatif dan ikhlas agar mereka bahagia bersama. Dengan bahagia, mereka mencapai derajat mulia. Kemuliaan itu sinonim sorga.

Mereka yang tak punya cinta pada republik tak akan punya sikap rela berkorban membela negeri tercinta. Padahal, berkorban bagi bangsa, negara dan sesama itu adalah tindakan terpuji. Bagi semua warga negara yang baik, sikap itu merupakan keharusan, sehingga NKRI ini bisa berkembang dan pastinya tetap terjaga keutuhannya. Rela berkorban berarti bersedia dengan ikhlas memberikan yang terbaik apa yang dimiliki kepada bangsa dan negara. Bukan sebaliknya: KKN demi diri dan keturunannya.

Orang yang rela berkorban pastilah punya visi besar. Dan, pemimpin bervisi besar pasti tahu bahwa Indonesia kaya modal sosial yang bisa menjadi bekal dalam menghadapi gelombang tantangan. Ini kolateral terbesar kita. Ini asuransi terdahsyat bangsa Indonesia.

Ia tahu bahwa tradisi dan rasa saling percaya, kuatnya jaringan sosial, serta hubungan baik antar warganegara, merupakan modal sosial yang dapat menopang perjalanan bangsa menjadi mercusuar dunia. Jika semua hal di atas ditopang dengan kepemimpinan yang jenius, crank dan menyempal dari arus utama, modal sosial itu dapat menjadi kekuatan dahsyat untuk mengungkit bangsa dari berbagai tekanan dan krisis serta invasi yang akan terus dikirimkan para penjajah. Ayok kita realitaskan. (*)

Tags:
APBNPancasilaekonomika pancasila

Tim Poskota

Reporter

Febrian Hafizh Muchtamar

Editor