BEKASI, POSKOTA.CO.ID - Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menilai, Kota Bekasi memiliki kemampuan anggaran untuk membenahi persoalan transportasi umum.
Namun, belum ada keseriusan dari pemerintah daerah untuk menyediakan akses angkutan massal yang menjangkau permukiman warga. Ia menyoroti minimnya transportasi publik di Kota Bekasi, padahal anggaran daerah tergolong besar.
“Bekasi ini APBD-nya 7 triliun. Saya rasa mampu kok. Masa kota Palu, yang APBD-nya cuma 1,8 triliun, bisa punya transportasi publik seperti Trans Palu, tapi Bekasi yang begitu besar tidak mau? Jadi, membenahi angkutan umum itu perkara mau atau tidak, bukan mampu atau tidak,” kata Djoko saat dikonfirmasi, Senin, 4 Agustus 2025.
Djoko juga menyinggung pengadaan mobil dinas yang menurutnya tidak mendesak. Ia menyarankan agar anggaran tersebut dialihkan untuk transportasi umum.
Baca Juga: Pengamat Nilai Wali Kota Bekasi Tak Paham Kewajiban Sediakan Angkutan Umum
“Pejabat Bekasi itu enggak usah dikasih mobil dinas. Untuk apa mobil dinas itu? Program mobil dinas itu hanya jadi ajang korupsi yang enggak jelas. Lebih baik kasih tunjangan transportasi saja, toh mereka sudah punya kendaraan pribadi,” tuturnya.
Ia mencontohkan ASN diwajibkan menggunakan kendaraan umum setiap hari Rabu sebagai bentuk edukasi publik. Meski sebagian merasa terpaksa, menurut Djoko, kebijakan itu tetap perlu diadopsi wilayah mitra Jakarta, termasuk Kota Bekasi.
“Ya memang mungkin dari rumah mereka di Bodetabek belum ada angkutan umum. Tapi enggak apa-apa, yang penting kebijakan ini diwajibkan dulu. Lalu ditindaklanjuti dengan pelayanan angkutan umum yang menjangkau perumahan,” ujarnya.
Djoko menyayangkan sikap Wali Kota Bekasi yang merupakan alumni Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD), tidak mampu menghadirkan sistem transportasi publik yang layak.
Baca Juga: Pengamat Sebut Gaji Rp10 Juta Tak Cukup untuk Warga Bekasi
“Sangat disayangkan, wali kota Bekasi yang alumni STTD ini tidak mewujudkan transportasi yang mencukupi kebutuhan masyarakatnya,” ucapnya.
Ia menyebut ada 1.824 kawasan perumahan di wilayah Bodetabek yang seharusnya dilayani angkutan umum. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.582 di antaranya merupakan perumahan kelas bawah, yang membutuhkan angkutan penghubung (feeder) ke stasiun KRL, LRT, atau halte Transjabodetabek.
“Dulu sebelum era 1990-an, setiap pembangunan perumahan pasti dibarengi layanan angkutan umum, entah itu angkot, bus umum, atau Damri. Tapi sekarang, layanan itu menghilang, meskipun perumahannya masih ada,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kelemahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang tidak mewajibkan ketersediaan transportasi umum sebagai bagian dari fasilitas umum.
Baca Juga: Pengamat Sebut Gaji Rp10 Juta Tak Cukup untuk Warga Bekasi
“Undang-undang itu perlu direvisi. Harus ada kewajiban pembangunan perumahan disertai dengan penyediaan fasilitas transportasi publik,” ucap dia.
Menurutnya, ketidaksinkronan antara pembangunan perumahan dengan layanan angkutan umum menjadi akar masalah mahalnya ongkos mobilitas masyarakat di Jabodetabek. Warga pun terpaksa bergantung pada kendaraan pribadi dan ojek.
“Lihat saja komposisinya sekarang. Angkutan umum hanya 2 persen, mobil 23 persen, dan sepeda motor 75 persen. Ini akibat tata ruang yang semrawut. Jadi jangan heran kalau biaya transportasi warga Bekasi paling tinggi di Indonesia,” katanya. (CR-3)