BEKASI, POSKOTA.CO.ID - Kota Bekasi mencatatkan rekor sebagai wilayah dengan pengeluaran biaya transportasi tertinggi di Indonesia. Fakta ini diungkap oleh Direktorat Jenderal Integrasi Transportasi Multimoda Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang merilis data pengeluaran warga untuk moda transportasi mencapai hampir Rp2 juta per bulan.
Dirjen Integrasi Transportasi Multimoda Kemenhub, Risal Wasal menjelaskan, tingginya biaya disebabkan beberapa faktor, mulai ketergantungan warga terhadap kendaraan pribadi, minimnya integrasi transportasi umum, hingga jauhnya jarak tempuh dari tempat tinggal ke lokasi kerja, terutama bagi para komuter Bekasi-Jakarta.
Kondisi ini langsung dirasakan Rahmadi, 48 tahun, karyawan swasta asal Bekasi yang setiap hari harus menempuh perjalanan menuju Tanjung Priok, Jakarta Utara, menggunakan sepeda motor.
Dengan gaji yang hanya sedikit di atas Upah Minimum Regional (UMR), Rahmadi harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Ia memiliki istri dan tiga orang anak yang semuanya sudah duduk di bangku sekolah.
Baca Juga: Biaya Transportasi Mahal, Warga Bekasi Sisihkan Gaji untuk Ongkos ke Jakarta
“Buat bensin aja bisa habis Rp1,5 juta perbulan. Belum biaya servis motornya. Itu udah Rp1,5 juta lebih sebulan cuma buat ongkos kerja,” ujar Rahmadi saat ditemui Poskota, Minggu, 3 Agustus 2025.
Dengan pengeluaran transportasi sebesar itu, Rahmadi mengaku kerap harus menekan kebutuhan lain seperti belanja bulanan atau keperluan sekolah anak. Menurutnya, kondisi ini sudah berlangsung lama dan belum ada solusi konkret dari pemerintah.
“Kami enggak minta yang mewah. Tapi tolong pikirin juga pekerja seperti saya yang gajinya pas-pasan, dan anak sekolah semua. Masa tiap hari kerja cuma buat ongkos?” keluhnya.
Kisah serupa juga dirasakan Arif Rahman, 29 tahun, pekerja swasta asal Bekasi yang bekerja di Tangerang. Arif yang belum menikah ini memilih menggunakan transportasi umum, seperti KRL dan kendaraan motor pribadi untuk menunjang aktivitas hariannya.
Baca Juga: Trauma Beli Beras Oplosan, Warga Bekasi Pilih Beli ke Penggilingan Padi
Namun dengan gaji di bawah UMR, Arif tetap merasa terbebani. Demi mengurangi pengeluaran, ia bahkan hanya pulang ke Bekasi seminggu sekali dan memilih tinggal di kosan temannya yang dekat tempat kerja selama hari kerja.
“Kalau pulang-pergi tiap hari, bisa abis Rp70-80 ribu. Itu belum makan. Uang saya bisa habis di ongkos aja kalau seperti itu. Jadi saya pilih pulang seminggu sekali aja,” ujarnya.
Arif juga menyebut kenaikan harga BBM dan kebijakan-kebijakan baru ikut memperparah beban masyarakat kecil.
“Yang naik bukan cuma tarif, tapi biaya hidup semua. Transportasi makin mahal, padahal penghasilan saya segitu-gitu aja. Nggak sebanding,” ucapnya.
Baca Juga: Amnesti Turun, Rumah Hasto di Bekasi Timur Sepi Aktivitas
Ia berharap ada perhatian dari pemerintah untuk menciptakan sistem transportasi publik yang efisien, terintegrasi, dan terjangkau, terutama untuk daerah penyangga ibu kota seperti Bekasi.
“Transportasi umum di Bekasi itu enggak bisa yang langsung ke tempat kerja, masih harus nyambung. Mau naik bus, jauh. Ojek mahal. Angkot jarang. Jadi mau nggak mau harus keluar uang lebih,” katanya.
Baik Rahmadi maupun Arif menilai, pemerintah daerah dan pusat harus duduk bersama menyusun strategi jangka panjang untuk mengatasi beban ongkos transportasi warga. Menurut mereka, jika dibiarkan terus menerus, hal ini akan berdampak pada daya beli masyarakat dan kesejahteraan keluarga kelas menengah ke bawah. (CR-3)