POSKOTA.CO.ID - Pantai Siung di Gunungkidul, Yogyakarta, selama ini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata alam yang eksotis, terutama bagi pecinta panjat tebing dan aktivitas camping. Namun, pesona keindahan itu baru-baru ini diliputi kabut duka, ketika seorang wisatawan asal Jakarta Timur, Azka Nurfadillah (28), dilaporkan hilang sejak Minggu, 27 Juli 2025.
Hingga hari Senin, 28 Juli 2025, proses pencarian yang melibatkan banyak unsur dari SAR gabungan masih berlangsung. Lokasi terakhir Azka diduga berada di kawasan Watu Tengok, sebuah tebing terjal dan ekstrem yang berada di sekitar Pantai Siung.
Hilangnya Azka bukan sekadar kasus pencarian biasa. Di balik medan terjal dan gelombang ganas, tersirat isu yang jauh lebih kompleks: kesehatan mental, tekanan sosial, dan risiko wisata ekstrem yang belum dipahami banyak orang.
Baca Juga: Pasar Taman Puring Jaksel Dilanda Kebakaran, 6 Mobil Pemadam Dikerahkan
Kronologi Hilangnya Azka Nurfadillah
Menurut keterangan awal dari pihak keluarga dan kerabat dekat, Azka Nurfadillah memutuskan untuk melakukan perjalanan seorang diri ke kawasan Pantai Siung. Lokasi ini memang terkenal di kalangan pelancong solo dan para pencari ketenangan. Namun, niat awal yang diduga ingin mencari ketenangan tersebut berubah menjadi tragedi.
Azka terakhir terlihat di area Watu Tengok, sebuah spot favorit untuk berkemah yang menghadap langsung ke Samudra Hindia. Namun, sejak Minggu siang, tidak ada lagi kabar darinya. Rekan dan warga yang sempat melihatnya pagi hari melaporkan kejanggalan perilaku Azka, yang tampak murung dan menyendiri di dekat tebing.
Upaya Pencarian dan Kendala Medan
Dalam proses pencarian ini, tim SAR gabungan yang terdiri dari Satlinmas Rescue Istimewa Wilayah Operasi I, Basarnas Yogyakarta, Polairud, Koramil, Polsek Tepus, serta warga lokal telah bekerja tanpa henti. Koordinator lapangan, Sunu Handoko Bayu Sagara, S.I.P, menjelaskan bahwa strategi pencarian dibagi ke dalam tiga Satuan Regu Utama (SRU):
- SRU 1 menyisir dari bawah tebing ke arah Watu Tengok sejauh 1 km. Namun operasi ini sempat terhenti karena gelombang laut yang sangat tinggi.
- SRU 2 bergerak ke area atas tebing sejauh 2 km ke arah timur, sekaligus menggali informasi dari petani lokal yang berada di sekitar sawah.
- SRU 3 menyisir arah barat tebing sejauh 2 km dan melakukan pendekatan dengan warga untuk mengumpulkan kesaksian tambahan.
Sayangnya, pencarian terkendala faktor cuaca ekstrem berupa hujan deras, angin kencang, dan gelombang besar yang dapat membahayakan keselamatan petugas.
Watu Tengok: Spot Favorit yang Ternyata Berbahaya
Watu Tengok memang menjadi incaran banyak wisatawan karena pemandangannya yang spektakuler. Namun, di balik pesonanya, tebing ini tergolong ekstrem dan tidak memiliki pembatas atau sistem pengaman yang memadai. Wisatawan yang tidak berpengalaman atau dalam kondisi mental tidak stabil sangat rentan mengalami kecelakaan di tempat seperti ini.
Menurut warga lokal, kawasan ini sebenarnya telah beberapa kali memakan korban, meski tidak semua diberitakan secara luas. Ketika ditanya mengenai keselamatan, banyak yang menyayangkan masih lemahnya kontrol pengawasan di area camping liar seperti Watu Tengok.
Dugaan Depresi dan Tuntutan Realitas Sosial
Yang membuat kasus Azka menjadi lebih kompleks adalah dugaan depresi berat yang dialaminya akibat perundungan di tempat kerja. Keterangan ini didapat dari rekan kerja dan keluarganya, yang menyebut bahwa Azka beberapa kali menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional, kehilangan semangat, serta menghindari interaksi sosial.
Dalam beberapa catatan pribadi yang ditemukan di tendanya, disebutkan tentang rasa putus asa, tekanan sosial, dan rasa tidak dihargai di lingkungan profesionalnya. Hal ini menambah kepedihan atas hilangnya Azka, sebab kasus ini tidak lagi sekadar insiden kecelakaan wisata, tetapi indikator dari krisis kesehatan mental yang selama ini luput dari perhatian publik.
Di tengah hiruk-pikuk kota besar dan tekanan pekerjaan yang tiada henti, alam kerap menjadi satu-satunya tempat pelarian yang dianggap aman. Banyak orang yang pergi ke pantai, gunung, atau tempat sunyi bukan hanya untuk berlibur, tapi untuk memulihkan diri dari luka mental yang tidak kasat mata.
Sayangnya, jika pelarian ini tidak disertai pendampingan atau kesiapan emosional yang cukup, alam bisa menjadi ruang yang sunyi namun mematikan.
Azka Nurfadillah mungkin mewakili banyak jiwa yang selama ini bergulat dalam diam. Hilangnya dia di pantai yang luas menjadi simbol bahwa tidak semua pelarian menuju alam berakhir pada penyembuhan—sebagian berakhir dalam keputusasaan.
Tanggung Jawab Kolektif: Mitigasi dan Kesadaran Publik
Kasus ini seharusnya menjadi pengingat bahwa pengelolaan wisata ekstrem seperti Pantai Siung tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah daerah, pengelola wisata, dan komunitas lokal perlu bekerja sama menyediakan jalur aman, informasi peringatan, serta batasan akses saat cuaca ekstrem.
Lebih jauh lagi, sistem deteksi dan perlindungan terhadap kasus depresi dan perundungan di tempat kerja juga harus ditingkatkan. Banyak instansi masih mengabaikan pentingnya konselor internal atau mekanisme pelaporan bullying yang aman dan tanpa intimidasi.
Baca Juga: Pasar Taman Puring Diduga tidak Dilengkapi Alarm Kebakaran
Imbauan untuk Wisatawan
Pihak berwenang mengimbau seluruh wisatawan agar menghindari aktivitas berisiko tinggi di Pantai Siung, terutama selama kondisi cuaca tidak bersahabat. Medan yang licin, tebing curam, dan angin kencang dapat dengan mudah menjebak siapa pun, bahkan yang sudah berpengalaman.
Wisatawan juga diminta untuk tidak solo traveling ke lokasi ekstrem tanpa persiapan matang atau pendamping. Selain itu, bagi siapa pun yang tengah mengalami tekanan psikologis, mencari bantuan profesional adalah pilihan yang jauh lebih aman daripada mencoba menyendiri di alam liar.
Pencarian terhadap Azka Nurfadillah masih berlanjut. Harapan tetap menyala meskipun kabar baik belum datang. Di tengah harapan itu, mari kita gunakan momen ini untuk merenungkan lebih dalam pentingnya menjaga satu sama lain—baik secara fisik, sosial, maupun emosional.
Tragedi ini bukan sekadar kabar duka, tetapi juga cermin dari kehidupan modern yang kerap luput memahami luka tersembunyi seseorang. Mari kita hentikan stigma atas depresi, perundungan, dan kesendirian. Sebab, di balik senyapnya suara Azka, mungkin ada suara kita sendiri yang selama ini tak terdengar.