Eretan kayu jadi andalan warga tiga kecamatan di Kabupaten Tangerang menyeberangi di Kali Cisadane, Selapang Jaya, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. (Sumber: POSKOTA | Foto: Primayanti)

JAKARTA RAYA

15 Tahun Mengapung, Eretan di Kali Cisadane Jadi Napas Warga Pinggiran Tangerang

Minggu 27 Jul 2025, 14:46 WIB

NEGLASARI, POSKOTA.CO.ID - Di bawah sengatan matahari pagi, sebuah eretan kayu tampak perlahan menyeberangi arus Kali Cisadane yang mengalir tenang.

Sejumlah motor terparkir rapi di atasnya, sementara sesekali terdengar gesekan tali nilon yang ditarik dengan tenaga.

Seorang petugas dengan langkah tenang menarik tali nilon yang membentang di atas air tampak sebuah mekanisme sederhana yang selama 15 tahun terakhir telah menjadi jembatan harapan bagi warga Kampung Kelor, Rawa Gempol, dan Kedong Baru di Kabupaten Tangerang.

Eretan ini bukan sekadar rakit kayu berterpal biru. Namun, dengan panjang hampir 4 meter, ia telah menjadi saksi bisu kehidupan warga yang menggantungkan mobilitas harian mereka melintasi sungai.

Baca Juga: Tersembunyi di Balik Proyek Tol dan Rel Kereta, Warga Lodan Raya Jakut Bertahan Hidup di Tengah Keterbatasan

Berangkat dari Selapajang Jaya, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, menuju Kampung Kelor dan desa lainnya, eretan ini hanya perlu menempuh jarak sekitar 50 meter dalam waktu lima menit.

“Dulu sungai ini kecil, tapi karena sering digali tanah dan banjir, alurnya makin melebar dan makin jauh. Dari situ muncul ide bikin eretan,” ujar Taufiq, 45 tahun, salah satu petugas eretan, saat ditemui di lokasi, Minggu, 27 Juli 2025.

Operasional eretan ini berlangsung sejak pukul 05.00 hingga 22.00 WIB, dibagi ke dalam tiga kelompok kerja yang masing-masing terdiri dari tiga orang.

Shift pagi dipegang Taufiq hingga pukul 17.00 WIB. Kemudian dilanjutkan oleh kelompok kedua hingga malam.

“Kalau malam, biasanya sepi. Jadi hasilnya buat yang jaga malam aja, enggak dibagi ke bos. Pendapatan yang disetor itu cuma sampai jam 6 sore,” jelasnya.

Meski sepi, malam tetap dijaga. Alasannya sederhana, siapa tahu ada satu atau dua warga yang tetap butuh menyeberang.

“Walau cuma satu penumpang, tetap jalan. Ini kan udah jadi kebutuhan,” lanjutnya sambil mengaitkan tali nilon ke sisi eretan.

Dengan tarif Rp2.000 per orang dan Rp3.000 untuk sepeda motor, eretan ini rata-rata bisa menghasilkan Rp500.000 per hari.

Namun, jumlah itu nyatanya tak selalu stabil. “Kalau libur sekolah kayak kemarin dua minggu, sepi banget. Jauh berkurang,” katanya.

Meskipun demikian, Taufiq dan rekan-rekannya tetap menjalankan tugas. Bagi mereka, ini bukan sekadar pekerjaan, tapi bagian dari denyut kehidupan masyarakat di tepian Cisadane.

Baca Juga: Kisah Perjalanan Timothy Ronald: Dari Pedagang Sedotan hingga Jadi Raja Kripto Indonesia

Pekerja yang sudah dua tahun setia menjadi moda transportasi itu juga menuturkan bahwa eretan ini bukan sekedar sarana transportasi, tetapi juga warisan cara hidup yang sederhana dan efisien.

Nyatanya, di tengah gencarnya pembangunan jembatan dan jalan layang, keberadaan eretan kayu ini seolah menjadi pengingat akan kekuatan yang bekerja bersama memenuhi kebutuhan dasar masyarakat disana.

Sebagian besar warga sekitar bahkan sudah akrab dengan eretan ini, hingga tak jarang menjadikannya bagian dari rutinitas harian baik menuju pasar, sekolah, tempat kerja, atau sekadar menyebrang antar kampung.

“Ini eretannya dari bos, sudah ada dari dulu. Sekitar 15 tahun lebih. Kami yang jaga cuma jalanin aja,” kata Taufiq.

Di atas kayu yang mengapung tenang itu, denyut kehidupan terus mengalir.

Eretan ini menjadi bukti bukan hanya sebagai alat penyeberangan, juga simbol ketekunan dan kesetiaan pada tradisi, yang masih bertahan dan mampu berdampak di tengah modernisasi Kota Tangerang. (CR-1)

Tags:
Jabodetabek TangerangKali Cisadaneeretan kayu

Tim Poskota

Reporter

Mohamad Taufik

Editor