POSKOTA.CO.ID - Vonis terhadap Hasto Kristiyanto pada Jumat, 25 Juli 2025, menandai babak baru dalam dinamika hukum dan politik Indonesia.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan bahwa Sekjen PDIP tersebut terbukti bersalah memberikan suap sebesar 57.530 dolar Singapura (sekitar Rp530 juta) kepada pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tujuannya: memuluskan penunjukan calon anggota legislatif dari partainya.
Putusan ini merupakan hasil penyelidikan panjang yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak lima tahun lalu, saat PDIP masih menjadi partai penguasa di bawah Presiden Joko Widodo. Namun, keretakan hubungan PDIP dan Jokowi menjelang Pemilu 2024 turut mengubah lanskap politik nasional.
PDIP dalam Bayang-Bayang Politik Baru
Setelah kekalahan dalam Pilpres 2024, PDIP menjadi satu-satunya partai oposisi di parlemen. Sementara partai-partai lain bergabung ke dalam koalisi besar pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Dalam situasi ini, vonis terhadap Hasto tak hanya berdampak pada individu, tetapi juga simbolik bagi legitimasi politik PDIP sebagai oposisi.
Pengamat politik dari LIPI, Indra Pradana, menilai bahwa ini merupakan “pukulan ganda.” Pertama, secara hukum PDIP kehilangan tokoh sentralnya di ranah organisasi partai. Kedua, secara politik, ini bisa merusak persepsi publik atas komitmen PDIP sebagai oposisi bersih. “Bila tidak ditangani dengan bijak, ini bisa mempercepat delegitimasi oposisi di mata rakyat,” katanya.
Dimensi Hukum: Apa yang Dibebaskan, Apa yang Masih Diusut
Meski dinyatakan bersalah atas kasus suap, Hasto dibebaskan dari dakwaan perintangan proses hukum. Tuduhan bahwa ia memerintahkan stafnya merendam ponsel ke dalam air sebagai upaya menghilangkan barang bukti belum dapat dibuktikan secara hukum.
Namun, jaksa menyatakan bahwa penyelidikan terhadap aspek perintangan hukum tetap berlanjut. KPK memastikan akan mengusut segala kemungkinan yang bisa menghambat proses hukum, tanpa pandang bulu.
Dinamika Relasi Jokowi, Prabowo, dan PDIP: Perspektif Manusiawi
Bila ditilik dari narasi besar politik Indonesia, kasus ini memperlihatkan pergolakan internal elite politik nasional. PDIP yang pernah menjadi rumah besar Jokowi kini berada di posisi seberang. Hal ini makin terlihat saat Jokowi mendukung Prabowo secara de facto melalui pencalonan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden.
Dalam perspektif manusiawi, Hasto bisa dilihat sebagai salah satu tokoh yang terperangkap dalam transisi kekuasaan dan konflik kesetiaan politik. Ia berada di tengah dua kutub: loyalitas terhadap Megawati dan realitas politik baru yang dibentuk Jokowi dan Prabowo.
Vonis Politik Lain: Bukan Kasus yang Sendiri
Kasus Hasto bukanlah satu-satunya vonis besar di tahun ini. Sepekan sebelumnya, mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong juga divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus suap impor gula senilai jutaan dolar AS. Meski berasal dari kalangan teknokrat dan kritikus pemerintah, ia tak luput dari jerat hukum.
Dua vonis besar ini memperlihatkan bahwa baik tokoh oposisi maupun eks pemerintah sama-sama berhadapan dengan penegakan hukum yang lebih agresif. Apakah ini sinyal positif? Atau justru instrumen politik untuk menekan lawan?
KPK dan Tantangan Independensi
KPK mengklaim telah menangani lebih dari 98 kasus korupsi sepanjang Januari hingga Juli 2025. Di antaranya kasus bansos, korupsi infrastruktur, dan suap sektor pangan. Ketua KPK menyatakan bahwa semua kasus diproses tanpa mempertimbangkan afiliasi politik.
Namun, publik tetap mempertanyakan independensi lembaga ini. Dalam lanskap politik yang makin didominasi koalisi besar, kekhawatiran akan selektivitas hukum selalu mengemuka. Hasto hanyalah salah satu contoh bagaimana lembaga hukum dihadapkan pada ujian integritas.
Respons PDIP: Diam atau Tanggap?
Hingga artikel ini diterbitkan, tim kuasa hukum Hasto belum memberikan pernyataan resmi apakah akan mengajukan banding atau menerima vonis. Sementara itu, elite PDIP juga belum menunjukkan sikap tegas.
Dalam perspektif strategis, PDIP perlu bersikap cepat dan konsisten. Jika ingin menjaga peran oposisi yang kuat dan bersih, PDIP harus mampu menyampaikan pesan bahwa mereka tidak mentolerir korupsi. Bahkan jika itu dilakukan oleh petinggi mereka sendiri.
Baca Juga: Cara Cetak Kartu Ujian UKPPPG 2025 dalam Jabatan Guru Tertentu, Ikuti Panduannya
Harapan Publik: Oposisi yang Tegas, Bukan Sekadar Ada
Demokrasi tidak akan berjalan sehat tanpa oposisi yang kritis dan berintegritas. Di sinilah letak tantangan terbesar PDIP pasca vonis Hasto. Apakah mereka akan tenggelam dalam konflik internal dan bayang-bayang masa lalu, atau justru bangkit menjadi oposisi modern yang reformis?
Vonis ini membuka peluang sekaligus ancaman. Jika dikelola dengan cerdas, PDIP bisa melakukan reformasi internal dan membuktikan bahwa oposisi bisa bersih. Jika tidak, maka oposisi akan sekadar menjadi simbol kosong dalam teater politik lima tahunan.
Kasus Hasto Kristiyanto menjadi penanda penting bagi demokrasi Indonesia di era pasca-Jokowi. Bukan hanya soal korupsi, ini adalah refleksi dari transisi kekuasaan, pergeseran loyalitas politik, dan ujian bagi institusi hukum kita.
Rakyat Indonesia tak hanya membutuhkan pemimpin yang bersih, tetapi juga institusi politik yang berani introspeksi dan membangun kepercayaan publik dari awal. Vonis ini, jika disikapi secara bijak, bisa menjadi titik tolak untuk reformasi partai, pembenahan oposisi, dan pemurnian demokrasi.
Vonis 3,5 tahun kepada Hasto Kristiyanto bukan sekadar episode hukum, melainkan refleksi politik mendalam atas posisi PDIP sebagai oposisi dalam era baru pemerintahan Prabowo-Gibran. Ini adalah momen penting bagi masyarakat sipil dan partai politik untuk mengevaluasi ulang pilar demokrasi, termasuk peran oposisi, integritas, dan penegakan hukum yang sejati.