Namun, tanggapan ini justru memperkeruh suasana. Apalagi, beredar voice note Nathalie kepada DJ Panda, meminta bantuan untuk membela dirinya secara publik. Dalam rekaman itu, Nathalie terdengar berkata:
“Adek-adek bisa nggak story bilang gini, ‘Kak Nathalie minta maaf ya jadi kena padahal nggak tahu apa-apa.’”
Pernyataan ini justru memperkuat asumsi bahwa Nathalie mengetahui sepenuhnya konteks parodi tersebut. Warganet menyebutnya sebagai "sutradara" konten sensitif itu.
Merespons tekanan publik, Nathalie akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada Erika Carlina melalui Instagram:
“Gue pribadi minta maaf jika konten ini menyinggung dan membuat Mbak down.”
Ungkapan ini sekaligus menjadi penutup drama yang telah menyita perhatian publik selama beberapa hari. Tapi, apakah ini cukup?
Baca Juga: Pria di Serang Edarkan 4,6 Gram Sabu, Terancam Penjara 5 Tahun
Banyak warganet menyuarakan keprihatinan bahwa konten-konten viral kerap kehilangan empati. Tak sedikit pula yang membandingkan tindakan Nathalie dengan perempuan lain yang pernah menjadi korban perundungan digital saat hamil, seperti yang terjadi pada selebriti lainnya.
Namun di sisi lain, ada pula yang membela Nathalie sebagai manusia biasa yang bisa salah dan berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Di sinilah letak tarik ulur moralitas publik.
Kasus ini menunjukkan bahwa konten viral bisa berdampak panjang dan luas. Terutama ketika menyentuh isu yang sangat personal dan sensitif. Nathalie Holscher, sebagai figur publik sekaligus perempuan dan ibu, semestinya memiliki kepekaan lebih dalam memilih konten yang akan disebarluaskan.
Kita hidup dalam zaman di mana netizen bisa bertindak sebagai juri, pengacara, bahkan eksekutor. Namun, bukan berarti publik bebas menghakimi tanpa ruang klarifikasi. Empati, transparansi, dan tanggung jawab adalah nilai yang harus dijunjung di ruang digital.
Apa yang dilakukan Nathalie Holscher bisa jadi adalah momen refleksi besar bagi para content creator. Menjadi viral memang menjanjikan popularitas instan, namun harga yang dibayar sering kali terlalu mahal—baik dari sisi martabat, relasi sosial, maupun reputasi jangka panjang.