POSKOTA.CO.ID - Timothy Ronald bukan hanya sekadar konten kreator yang aktif di TikTok dan YouTube. Ia adalah simbol dari wajah muda Indonesia yang sedang berusaha membongkar narasi lama soal keuangan.
Sebagai pendiri Akademi Crypto, Timothy tidak hanya bicara soal cuan dari aset digital, tapi juga menyoroti sistem ekonomi yang menurutnya menyimpan jebakan terselubung khususnya untuk kelas menengah.
Salah satu pernyataannya yang viral berasal dari video TikTok yang diunggah akun @majalah18pless. Dalam video tersebut, Timothy mengungkapkan bahwa “orang kaya nggak ada yang beli barang pakai cicilan.” Kalimat ini memicu perdebatan panjang di kolom komentar. Ada yang setuju sepenuh hati, ada pula yang menganggap ucapannya terkesan menyederhanakan realitas finansial masyarakat.
Tapi apa sebenarnya maksud di balik pernyataan tersebut?
Baca Juga: Timothy Ronald Ungkap Strategi Sukses 10 Kali Lebih Cepat dengan Cara Ini, Simak Penjelasannya
Cicilan: Solusi Pintas atau Perangkap Jangka Panjang?
Menurut Timothy, sistem cicilan bukanlah alat bantu finansial, melainkan perangkap kelas menengah. Ia menilai, orang kaya tidak mencicil karena sudah punya dana cukup untuk membayar lunas. Sementara itu, kelas menengah sering kali merasa “mampu” membeli barang karena tersedia pilihan cicilan ringan, bahkan tanpa bunga.
Namun di balik itu, ada biaya tersembunyi mulai dari administrasi, asuransi wajib, hingga konsekuensi psikologis: ilusi mampu.
Analogi yang digunakan Timothy sangat kuat: hamster yang terus berlari di roda. Mereka tampak aktif, bekerja keras, tapi tidak pernah benar-benar berpindah tempat. Begitulah gambaran kehidupan kelas menengah menurutnya penghasilan bulanan habis untuk membayar cicilan, tanpa ada ruang untuk menabung, apalagi berinvestasi.
Realita Ekonomi: Inflasi Menggerus, Cicilan Menjerat
Pandangan Timothy juga menyentuh fenomena yang lebih luas: inflasi. Ia mengkritisi bagaimana harga barang dan kebutuhan hidup meningkat tajam, sementara penghasilan stagnan. Ini menjadikan kelas menengah makin tersudut.
Misalnya, biaya hidup selama pandemi seperti PCR, masker, dan vitamin melonjak drastis. Di saat yang sama, tawaran cicilan mulai merambah ke semua sektor: dari mobil, laptop, hingga alat kebersihan seperti vacuum cleaner.
Skema cicilan tampak meringankan, namun pada akhirnya menyusutkan potensi keuangan. Seiring waktu, seseorang bisa memiliki lima sampai enam cicilan aktif tanpa sadar telah menumpuk beban yang tidak proporsional dengan penghasilannya.
Bila kita lihat dari sisi manusiawi, ucapan Timothy memang terdengar keras. Tidak semua orang punya opsi untuk beli barang secara tunai. Ada kalanya cicilan menjadi satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti kendaraan untuk bekerja, atau perangkat digital untuk sekolah daring anak.
Namun, titik kritis dari argumen Timothy bukan pada pelarangan cicilan, melainkan pada kesadaran finansial.
Ia menekankan pentingnya refleksi sebelum membeli: apakah barang tersebut memang benar-benar dibutuhkan, atau hanya karena tergoda promo “bunga 0%”? Apakah membeli dengan cicilan membawa manfaat produktif atau sekadar memuaskan ego konsumtif?
Edukasi Finansial: Menanamkan Mindset Kaya, Bukan Gaya
Sebagai edukator keuangan, Timothy tak hanya melontarkan kritik, tetapi juga mengajak masyarakat membentuk pola pikir baru. Bagi dia, mindset kaya bukan berarti punya banyak uang, tapi cermat dalam mengelola uang.
Ini termasuk:
- Menunda keinginan demi tujuan jangka panjang
- Mengalokasikan penghasilan untuk dana darurat dan investasi
- Membangun aset, bukan hanya memiliki barang
Ia ingin generasi muda belajar bahwa membeli barang cash adalah simbol kendali finansial, bukan gengsi. Dengan membayar tunai, seseorang tidak hanya menghindari beban bunga, tapi juga belajar disiplin mengatur prioritas.
Dampak Jangka Panjang: Siklus Kelas Menengah yang Tak Pernah Usai
Jika sistem ekonomi terus mendorong masyarakat pada konsumsi berbasis cicilan, maka kelas menengah akan selalu berada dalam tekanan. Mereka:
- Terus bekerja demi menutup tagihan
- Tidak punya cadangan dana
- Rentan terhadap krisis mendadak
Dalam jangka panjang, ini menyebabkan generasi demi generasi tetap terjebak dalam kelas yang sama, tanpa ada peningkatan kualitas hidup yang berarti.
Pandangan ini, meski terdengar pesimistis, menjadi panggilan untuk mengevaluasi kebiasaan kita sehari-hari. Jangan-jangan, kita selama ini hanya merasa sedang maju, padahal hanya berputar di tempat.
Relevansi dengan Generasi Muda: Konsumtif atau Produktif?
Timothy memiliki banyak pengikut dari kalangan muda. Gaya bicaranya yang blak-blakan, ditambah cara penyampaian yang lugas, membuat pesan-pesannya mudah diterima. Namun yang lebih penting adalah substansi dari pesan itu sendiri.
Generasi muda saat ini tumbuh dalam dunia yang dipenuhi tawaran instan: Paylater, kartu kredit digital, e-commerce dengan cicilan tanpa DP. Semua ini menciptakan budaya “beli sekarang, pikir nanti.”
Padahal, justru saat muda inilah waktu terbaik untuk:
- Belajar menabung
- Memahami konsep bunga dan nilai waktu uang
- Memulai investasi kecil
Jika pesan Timothy bisa ditangkap dengan cara yang tepat, ia bisa menjadi pendorong perubahan gaya hidup finansial yang lebih sehat.
Baca Juga: Timothy Ronald Ungkap Strategi Sukses 10 Kali Lebih Cepat dengan Cara Ini, Simak Penjelasannya
Apakah Semua Cicilan Buruk?
Perlu ditekankan, tidak semua cicilan itu buruk. Cicilan produktif seperti modal usaha, pembelian properti untuk disewakan, atau pendidikan bisa menjadi langkah strategis.
Namun, yang sering terjadi adalah cicilan konsumtif. Dan di sinilah letak masalahnya.
Timothy mengajak kita membedakan antara utang baik dan utang buruk, serta menghindari hidup dari “gaji ke gaji” yang didorong oleh konsumsi impulsif.
Pernyataan Timothy Ronald soal cicilan sebagai jebakan kelas menengah bukan sekadar provokasi media sosial. Ia adalah cerminan dari realita ekonomi kita saat ini dimana konsumsi lebih cepat daripada perencanaan, dan ilusi “mampu” sering menggantikan akal sehat.
Dari sudut pandang manusiawi, kita paham bahwa tidak semua orang bisa bebas dari cicilan. Namun, melalui edukasi finansial dan refleksi kritis, kita bisa mulai membentuk pola hidup yang lebih berkelanjutan. Seperti kata Timothy, “Jangan sampai kerja keras kita tiap bulan hanya untuk bertahan hidup. Saatnya kita keluar dari roda hamster dan mulai membangun jalan sendiri.”