Timothy Ronald Mindset (Sumber: Threads/@timothyronald)

EKONOMI

Timothy Ronald Mindset: Hanya Orang Bodoh yang Bangga Tidak Pernah Berubah Pikiran

Senin 14 Jul 2025, 10:15 WIB

POSKOTA.CO.ID - Dalam budaya kita, konsistensi sering dipuja sebagai salah satu bentuk integritas. Kita diajarkan sejak kecil untuk “berpegang pada prinsip”, “mempertahankan pendirian”, atau “setia pada kata-kata sendiri.” Namun, ada garis tipis yang membedakan integritas sejati dengan sekadar keras kepala.

Melansir dari Threads @Timothy Ronald, seorang pembicara publik dan figur motivasi, menyinggung hal ini dengan kalimat lugas:

Ucapan ini bisa memicu kontroversi, tetapi di baliknya ada pesan penting: keberanian merevisi opini adalah tanda pertumbuhan intelektual. Banyak orang takut diolok-olok sebagai “menjilat ludah sendiri”, padahal justru dengan keberanian itulah seseorang bisa berkembang.

Pikiran yang stagnan hanya akan memenjarakan potensi manusia dalam kotak sempit yang disebut ego.

Baca Juga: Cara Investasi Uang Rp10 Juta yang Benar Ala Timothy Ronald, Jangan Salah Kaprah!

Perspektif Unik: Manusia dan Evolusi Pendapat

Sebagai manusia, kita hidup di zaman di mana perubahan terjadi setiap detik. Informasi baru datang tanpa henti. Pengetahuan yang kemarin dianggap benar, hari ini bisa terbukti keliru.

Mari bayangkan seorang dokter pada abad ke-19 yang meyakini teori miasma (penyakit disebabkan oleh udara buruk). Setelah teori kuman muncul, banyak tenaga medis harus menelan gengsi dan mengakui pendapat lama salah total. Kalau mereka memilih bersikukuh pada teori usang demi citra “konsisten,” mungkin manusia akan tetap berperang melawan epidemi dengan cara yang salah.

Begitu pula dalam kehidupan pribadi: keyakinan yang dahulu mungkin tidak sesuai lagi dengan realitas hari ini. Hubungan, karier, pola asuh anak—semuanya menuntut adaptasi.

Inilah uniknya manusia: kita bukan makhluk yang statis. Dunia berubah, manusia bertumbuh.

“Menjilat Ludah Sendiri”: Stigma yang Tidak Selalu Relevan

Istilah menjilat ludah sendiri memang terdengar sinis. Ia kerap dipakai untuk mempermalukan orang yang merevisi ucapan atau pendirian. Namun, jika dipahami lebih dalam, stigma ini lahir dari dua sumber:

  1. Ketakutan Kolektif Akan Ketidakpastian
    Masyarakat lebih nyaman dengan sesuatu yang tetap. Kita lebih mudah percaya kepada pemimpin yang selalu “kelihatan yakin.” Tapi yakin tanpa bukti adalah bentuk arogansi.
  2. Dorongan Ego Pribadi
    Banyak orang takut dibilang plin-plan, padahal situasi berubah. Konsistensi yang membabi buta tak lebih dari manifestasi ego.

Bahkan ilmuwan merevisi teori, jenderal perang mengubah strategi, pengusaha pivot model bisnis, penulis merevisi draft berkali-kali.

Apakah mereka bodoh karena “menjilat ludah sendiri”? Tentu tidak. Justru itulah tanda kebijaksanaan.

Konsistensi dalam Mencari Kebenaran, Bukan Konsistensi dalam Ucapan

Timothy Ronald menegaskan, orang bijak bukan yang selalu konsisten berkata sama, melainkan yang konsisten mencari kebenaran.

Kalimat ini sederhana tapi revolusioner. Dalam sejarah peradaban manusia, kebenaran tidak lahir dari kaku. Galileo Galilei harus merevisi banyak pandangan ilmiah. Charles Darwin memodifikasi argumen evolusinya seiring data baru bermunculan.

Dalam kehidupan sehari-hari pun sama. Seorang teman yang dulu menganggap karier adalah segalanya bisa berubah menjadi penganut work-life balance setelah merasakan burnout. Tidak ada yang salah dengan itu.

Perspektif Psikologi: Mengapa Mengubah Pendapat Sulit Dilakukan?

Studi dalam psikologi kognitif menjelaskan fenomena ini melalui konsep cognitive dissonance (disonansi kognitif). Saat keyakinan lama berbenturan dengan fakta baru, kita merasa tidak nyaman. Cara termudah meredakan ketidaknyamanan ini adalah:

Hanya sedikit orang yang mau menempuh jalan lebih berat: mengakui diri keliru.

Namun di sinilah letak kekuatan sejati manusia: kesediaan untuk jujur pada diri sendiri.

Mengapa Dunia Modern Membutuhkan Fleksibilitas Pikiran?

Kita hidup di era di mana perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan melesat. Artificial Intelligence, bioteknologi, perubahan iklim, tren ekonomi global semuanya berubah cepat.

Jika kita tetap terpaku pada perspektif lama, kita akan menjadi penonton, bukan aktor. Fleksibilitas berpikir bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan.

Sebagaimana seorang jenderal di medan tempur yang mengubah strategi, kita pun perlu kemampuan untuk mengoreksi peta mental.

Perspektif Unik: Apresiasi Proses, Bukan Label

Dari sudut pandang manusia biasa, proses merevisi pandangan seringkali terasa memalukan. Namun jika kita mau memandang lebih luas, yang seharusnya dihargai bukanlah label “konsisten” atau “tidak konsisten,” melainkan niat tulus untuk bertumbuh.

Seorang guru yang dulu menghukum murid keras, lalu berubah menjadi pendidik yang lembut, tidak layak dilecehkan hanya karena “berubah.” Seorang pemimpin yang berani meminta maaf karena salah arah patut diteladani, bukan dicemooh.

Baca Juga: Viral! Lita Gading Disebut Psikolog Gadungan oleh Ahmad Dhani, Langsung Dibuktikan dengan STR dan Sertifikat HIMPSI

Cara Sehat Mengelola Perubahan Pandangan

Bila Anda merasa resah karena harus merevisi pendapat, coba lakukan ini:

Validasi Perasaan Tidak Nyaman
Wajar merasa malu. Tetapi itu bagian alami dari pembelajaran.

Pisahkan Ego dari Fakta
Anda tidak kalah hanya karena mengakui kesalahan.

Komunikasikan dengan Jelas
Jika perubahan pendapat menyangkut orang lain, jelaskan alasannya dengan jujur.

Rayakan Proses Bertumbuh
Bukan hasil akhir yang terpenting, melainkan keberanian belajar.

Jika Anda merasa takut disebut tidak konsisten, ingatlah bahwa dunia tidak statis. Manusia adalah makhluk yang terus berevolusi, begitu pula pikiran dan keyakinan kita.

Keberanian mengakui kesalahan bukan tanda kebodohan, melainkan keberanian tertinggi yang dimiliki manusia.

Seperti kata Timothy Ronald:

“Takut untuk menjilat ludah sendiri adalah tanda kesetiaan pada arogansi dan ego.”

Maka, daripada sibuk mempertahankan citra “konsisten,” mari konsisten menjadi pencari kebenaran. Karena pada akhirnya, pertumbuhan sejati lahir dari kesediaan untuk berubah.

Tags:
Cognitive dissonanceEgo dan arogansiFleksibilitas pola pikirMengubah opiniKebijaksanaan berpikirMenjilat ludah sendiriTimothy RonaldMindset perubahan

Yusuf Sidiq Khoiruman

Reporter

Yusuf Sidiq Khoiruman

Editor