POSKOTA.CO.ID - Di era pendidikan yang semakin menekankan pendekatan holistik dan pembelajaran berbasis kompetensi, peran guru telah bertransformasi secara signifikan.
Guru bukan lagi semata-mata pengajar yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi, melainkan menjadi pendamping, fasilitator, sekaligus mitra belajar yang senantiasa membantu peserta didik menavigasi tantangan akademik maupun non-akademik.
Salah satu wujud perubahan paradigma ini tercermin dalam cara penilaian belajar dilakukan. Jika pada masa lalu keberhasilan siswa kerap diukur hanya dari nilai akhir ujian atau angka rapor, kini evaluasi belajar bersifat lebih dinamis, partisipatif, dan kontekstual.
Konsep asesmen formatif menjadi elemen kunci dalam pendekatan pembelajaran modern, karena proses ini tidak hanya bertujuan “menghitung” capaian, tetapi juga “memahami” perjalanan belajar itu sendiri.
Baca Juga: Link Pengumuman Hasil OSN Jenjang SD/MI dan SMP/MTs 2025
Apa Itu Asesmen Formatif?
Asesmen formatif adalah proses evaluasi yang dilakukan secara kontinu selama berlangsungnya pembelajaran. Berbeda dengan asesmen sumatif yang biasanya dilakukan di akhir pembelajaran untuk menentukan kelulusan atau peringkat, asesmen formatif berorientasi pada pemberian umpan balik konstruktif yang dapat langsung dimanfaatkan guru dan siswa.
Dalam praktiknya, asesmen formatif dapat berbentuk observasi, diskusi, refleksi, maupun tes diagnostik. Proses ini memosisikan guru dan siswa dalam hubungan kolaboratif—saling berbagi tanggung jawab untuk memastikan materi dapat dipahami dengan baik.
Perspektif unik yang sering diabaikan dalam diskusi akademis adalah dimensi empati dan psikologis dalam asesmen formatif. Ketika siswa merasa bahwa guru benar-benar ingin memahami kebutuhan belajar mereka, bukan sekadar menilai, tercipta rasa aman dan kepercayaan. Inilah fondasi penting yang meningkatkan motivasi belajar secara intrinsik.
Tes Diagnostik: Instrumen Penting dalam Asesmen Formatif
Salah satu bentuk asesmen formatif yang banyak diterapkan adalah tes diagnostik. Tes ini dirancang untuk memetakan sejauh mana kesiapan dan pemahaman peserta didik terhadap suatu materi pembelajaran.
Berbeda dengan tes formatif yang sering dilakukan di akhir sesi belajar, tes diagnostik biasanya dilaksanakan di awal pembelajaran atau sebelum topik tertentu diajarkan. Namun demikian, tes ini juga dapat dilakukan di tengah atau setelah pembelajaran untuk memastikan pemahaman siswa tidak hanya bersifat permukaan.
Dengan tes diagnostik, guru memperoleh data yang sangat spesifik tentang kekuatan dan kelemahan siswa. Data inilah yang menjadi dasar pengambilan keputusan pedagogis yang lebih presisi.
Tujuan Asesmen Formatif Berupa Tes Diagnostik
Berikut penjabaran mendalam tujuan asesmen formatif berupa tes diagnostik yang dilakukan guru:
1. Mengetahui Pengetahuan Awal Siswa
Setiap siswa datang dengan latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Tes diagnostik membantu guru mendapatkan gambaran utuh tentang apa yang sudah diketahui siswa sebelum materi baru diperkenalkan.
Misalnya, dalam pembelajaran matematika, guru perlu tahu apakah siswa sudah memahami konsep pecahan sebelum mempelajari desimal. Dengan demikian, pengajaran dapat dirancang relevan dan tidak melewatkan prasyarat penting.
Perspektif manusia: Di sinilah letak kepekaan guru dalam melihat keberagaman kemampuan belajar. Seorang guru yang peka tidak akan mudah menyalahkan siswa yang tertinggal, melainkan mencari cara agar proses belajar dapat dimulai dari titik kesiapan yang sesuai.
2. Mendeteksi Miskonsepsi dan Kesalahan Pemahaman
Banyak siswa mengalami miskonsepsi—pemahaman keliru yang sering tertanam sejak dini. Contohnya, siswa mungkin berpikir bahwa semua bilangan desimal lebih besar daripada pecahan biasa, padahal tidak selalu demikian.
Tes diagnostik memungkinkan guru menangkap kesalahan ini lebih awal. Dengan melakukan klarifikasi, guru mencegah miskonsepsi berkembang menjadi hambatan belajar jangka panjang.
3. Mengungkap Kesulitan Belajar Spesifik
Selain miskonsepsi, tes diagnostik juga berfungsi mengidentifikasi area yang menjadi kelemahan mendasar siswa, seperti kesulitan dalam memahami instruksi, lambat membaca, atau tidak mampu mengaitkan konsep abstrak dengan praktik nyata.
Ketika kesulitan terpetakan secara spesifik, intervensi pun dapat dirancang lebih tepat sasaran.
4. Merancang Intervensi yang Tepat
Data tes diagnostik ibarat peta jalan. Guru bisa menentukan apakah siswa memerlukan pengayaan, bimbingan remedial, atau pendampingan intensif.
Intervensi dapat berupa:
- Pengelompokan belajar berdiferensiasi
- Tugas tambahan yang terstruktur
- Kegiatan remedial individual
- Konsultasi belajar personal
Perspektif manusia: Proses ini menunjukkan bahwa guru tidak hanya berfokus pada pencapaian target kurikulum, tetapi juga kesejahteraan belajar siswa.
5. Menyesuaikan Strategi Pembelajaran
Hasil asesmen formatif sering menjadi cermin bagi guru untuk merefleksi metode pengajarannya.
Apabila banyak siswa mengalami kesulitan serupa, ini bisa jadi sinyal bahwa materi perlu disederhanakan, media belajar diperbarui, atau pendekatan mengajar divariasikan.
6. Meningkatkan Motivasi dan Rasa Percaya Diri Siswa
Ketika siswa tahu guru serius memperhatikan kebutuhan belajar mereka, muncul rasa dihargai. Hal ini memicu motivasi internal yang lebih kuat dibanding sekadar ancaman nilai rendah.
Siswa yang kesulitan pun tidak merasa gagal, karena kesulitan mereka dilihat sebagai peluang untuk dibantu, bukan aib yang harus disembunyikan.
7. Dasar Pengelompokan Belajar (Jika Diperlukan)
Di beberapa konteks, tes diagnostik menjadi dasar untuk pengelompokan belajar secara sementara. Siswa yang memiliki kesiapan serupa dapat belajar bersama dengan kecepatan yang sesuai.
Namun, penting bagi guru menjaga sensitivitas agar pengelompokan tidak memberi label negatif yang melekat pada citra diri siswa.
Asesmen Formatif dalam Lanskap Pendidikan Modern
Transformasi pendidikan di Indonesia, khususnya dalam Kurikulum Merdeka, semakin menekankan pentingnya asesmen formatif. Dalam Kurikulum Merdeka, guru diberikan keleluasaan untuk mengadaptasi pembelajaran berbasis diferensiasi.
Asesmen formatif menjadi instrumen vital untuk mewujudkan pembelajaran yang sesuai minat, kebutuhan, dan potensi peserta didik.
Di sisi lain, pendekatan ini memerlukan kompetensi pedagogis yang tinggi. Guru perlu:
- Memahami prinsip evaluasi autentik
- Mampu merancang instrumen tes diagnostik yang valid dan reliabel
- Mampu menafsirkan data secara objektif
- Menjaga etika evaluasi yang berorientasi pada perkembangan belajar
Perspektif manusia: Pendidikan sejatinya adalah upaya memanusiakan manusia. Tes diagnostik dan asesmen formatif adalah manifestasi penghargaan terhadap martabat belajar setiap individu.
Baca Juga: Jangan Nunggu Tua Baru Kaya! Ini Strategi Sukses Muda Sebelum 30 Tahun ala Timothy Ronald
Konteks Lokal: Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Contoh Inspiratif
Daerah Istimewa Yogyakarta bukan hanya terkenal dengan kekayaan budaya dan destinasi wisata, tetapi juga menjadi salah satu daerah yang aktif menerapkan inovasi asesmen formatif.
Banyak sekolah di Yogyakarta sudah memanfaatkan teknologi dalam asesmen formatif, seperti penggunaan platform digital yang memungkinkan guru mengolah hasil tes diagnostik secara cepat dan menyajikan umpan balik yang terpersonalisasi.
Hal ini menjadi inspirasi bahwa pendidikan modern tidak selalu harus mahal atau rumit, melainkan dimulai dari komitmen guru untuk mengenali potensi dan kebutuhan belajar siswa.
Asesmen formatif berupa tes diagnostik bukan hanya sekadar rutinitas evaluasi. Ia adalah jembatan penting yang menghubungkan guru dan siswa dalam proses belajar yang saling memahami, saling mendukung, dan saling memberdayakan.
Ketika guru menggunakan hasil tes diagnostik untuk merancang pembelajaran yang adaptif dan bermakna, siswa tidak lagi merasa hanya “dinilai,” tetapi juga “dihargai.”
Inilah salah satu wujud nyata transformasi pendidikan modern—pendidikan yang lebih manusiawi, lebih empatik, dan lebih memberdayakan.