BABELAN, POSKOTA.CO.ID - Isak tangis mewarnai pembongkaran ratusan bangunan liar di sempadan jalan dan bantaran sungai Kampung Pulo Timaha, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi pada Rabu 9 Juli 2025.
Tangis dari warga yang selama ini menempati bangunan untuk tempat tinggal maupun usaha di bantaran sungai Kampung Pulo Timoho, pecah. Sejumlah warga terdampak mengaku sedih, juga menyesal.
Salah satunya dialami Alpian, 55 tahun, pemilik bengkel yang turut digusur. Ia mengaku membeli tanah dari oknum calo yang bekerja sama dengan RT setempat. Kini, bangunan yang belum lama ia tempati terpaksa diratakan alat berat.
"Sebenernya dulu saya nggak berminat ya. Cuma lagi kepepet dan masuklah orang-orang kayak RT dan calo-calo," ucap Alpian saat ditemui di lokasi, Rabu 9 Juli 2025.
Baca Juga: Dapat Surat Penggusuran Mendadak, Warga Kampung Gabus Bekasi Tak Sempat Kemasi Barang
"Saya nggak berpikir jauh soal surat, yang penting ada tempat. Tapi sekarang malah kayak gini, saya diusir tanpa ada apa-apa," ungkapnya.
Empat tahun lalu, Alpian mengaku telah mengeluarkan uang hingga ratusan juta untuk membeli tanah seluas 7x14 meter beserta bangunan. Kini, semua itu tinggal kenangan.
"Saya beli tanah ini Rp90 juta. Sama benerin bangunannya habis kurang lebih Rp150 juta. Karena berjalannya waktu, kita nggak berharap begini. Dari kemarin kami sudah diusir-usir sama Satpol PP," ujarnya.
Sayangnya, meski telah mengeluarkan banyak uang, Alpian tidak memiliki sertifikat resmi. Hanya ada surat oper alih kuasa dan kwitansi, yang disebut-sebut disaksikan RT setempat.
“Kami nggak ada sertifikat. Surat oper alih doang sama kwitansi. Tapi keterangannya diketahui RT. Tapi sekarang mereka lepas tangan. Pak Lurah juga nggak turun ke sini,” katanya.
Hal serupa dialami Masripah Nainggolan, 40 tahun, pemilik usaha salon di lokasi yang sama. Ia baru satu tahun menempati tanah yang dibelinya seharga Rp60 juta itu. Dalam surat kuasa, disebutkan pembelian disetujui oleh pihak desa.
“Saya tinggal di sini baru satu tahun. Saya belinya dari pemilik yang bilang ini tanah hak pakai, dan suratnya ditandatangani desa. Kita bangun sendiri, habis Rp100 juta termasuk pasang PLN dan PAM,” tutur Masripah.
Sejak awal, Masripah mengaku tahu tanah tersebut milik pemerintah. Namun, ia tak menyangka akan digusur secepat ini tanpa sosialisasi atau mediasi.
“Kita tahu ini tanah pemerintah, hak pakai. Tapi kita dijanjikan 17 tahun baru digusur, makanya berani beli. Tapi tiba-tiba dapat SP 1, 2, 3. Kita tanya ke desa dan teman-teman, nggak ada jawaban,” ujarnya.
Ia menyebut pihak desa dan oknum yang menjual tanah hanya mencari untung. Saat warga butuh kejelasan dan bantuan, tak satupun pejabat turun tangan.
“Mereka cuma cari untung. Kita dijadikan korban. Kita nggak tinggal di atas kali, tapi disebut bangunan liar di bantaran. Kalau ini untuk kepentingan bersama, kita rela digusur. Tapi kasih solusi dong,” kata Masripah.
Atas kejadian yang menimpa dirinya saat ini Masripah berharap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) bisa memberi perhatian terhadap nasib warga terdampak yang kehilangan tempat usaha.
“Kalau benar ini proyek dari Pak KDM, kami harap beliau bisa turun ke sini. Lihat langsung kondisinya. Kami cuma butuh kejelasan dan sedikit bantuan,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga berharap pemerintah bisa memberikan kompensasi. Sebab, banyak warga yang kehilangan sumber penghasilan akibat pembongkaran mendadak tersebut.
“Untuk rumah, saya masih punya tempat tinggal. Tapi usaha salon ini kan baru satu tahun. Sekarang mau usaha apa lagi? Kami butuh makan,” jelasnya. (CR-3)