POSKOTA.CO.ID - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan terkait fenomena unik yang disebut kemarau basah.
Berbeda dengan musim kemarau pada umumnya, kondisi ini justru ditandai dengan tingginya intensitas hujan di berbagai wilayah Indonesia.
Fenomena ini diprediksi akan berlangsung hingga Oktober 2025, dengan curah hujan terus berada di atas normal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan angin kencang, yang dapat mengancam keselamatan masyarakat.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa pemerintah daerah dan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan.
"Hasil prediksi curah hujan bulanan BMKG menunjukkan bahwa anomali curah hujan sudah terjadi sejak Mei 2025 akan terus berlangsung, dengan kondisi curah hujan di atas normal terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia hingga Oktober 2025," jelasnya. Kondisi ini memerlukan antisipasi serius untuk meminimalisir dampak yang lebih luas.
Anomali Curah Hujan dan Penyebabnya
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa anomali cuaca ini telah terjadi sejak Mei 2025. "Hasil prediksi curah hujan bulanan BMKG menunjukkan bahwa anomali curah hujan sudah terjadi sejak Mei 2025 akan terus berlangsung, dengan kondisi curah hujan di atas normal terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia hingga Oktober 2025," ujarnya dalam rilis resmi BMKG, Rabu 9 Juli 2025
Fenomena ini dipicu oleh melemahnya Monsun Australia yang biasanya membawa udara kering. Selain itu, suhu permukaan laut di selatan Indonesia tetap hangat, memperkuat pembentukan awan hujan.
Faktor lain yang memperparah kondisi ini adalah aktivitas Gelombang Kelvin di pesisir utara Jawa, belokan angin di Jawa Barat dan Selatan, serta konvergensi angin yang meningkatkan pertumbuhan awan hujan.
Dampak pada Wilayah Wisata dan Padat Penduduk
BMKG mencatat, hingga akhir Juni 2025, hanya 30 persen Zona Musim (ZOM) yang memasuki musim kemarau, jauh di bawah rata-rata klimatologis sebesar 64 persen. Wilayah yang paling terdampak meliputi Lampung, Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Beberapa kejadian ekstrem telah terjadi dalam sepekan terakhir:
- 5 Juli 2025: Hujan lebat (>100 mm/hari) memicu banjir dan longsor di Bogor, Mataram, dan Sulawesi Selatan.
- 6 Juli 2025: Curah hujan ekstrem (150 mm/hari) di Puncak, Jawa Barat, mengakibatkan genangan dan gangguan transportasi di Jakarta-Tangerang.
Baca Juga: Mengapa Curah Hujan Masih Tinggi di Sejumlah Wilayah? BMKG Ungkap Penyebab Anomali Cuaca
Peringatan untuk Pekan Mendatang
BMKG memprediksi cuaca ekstrem masih mengancam wilayah berikut pada 10-12 Juli 2025:
- Jawa Barat dan Tengah (termasuk Jabodetabek)
- Kalimantan Timur
- Sulawesi Selatan
- NTB (Mataram)
- Maluku dan Papua
Upaya Mitigasi: Operasi Modifikasi Cuaca dan Koordinasi Darurat
Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Handoko Seto, menyatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan BNPB, BPBD, dan Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) guna mengurangi dampak hujan ekstrem. "OMC di DKI Jakarta dan Jawa Barat telah dimulai hari ini hingga 11 Juli, tergantung perkembangan cuaca," jelasnya.
Baca Juga: BMKG Lakukan Operasi Modifikasi Cuaca di Jabodetabek hingga 11 Juli
Imbauan untuk Masyarakat
BMKG mengingatkan masyarakat untuk:
- Waspada banjir, longsor, dan pohon tumbang di daerah rawan.
- Hindari berkendara saat hujan deras untuk antisipasi genangan dan angin kencang.
- Pantau informasi cuaca terbaru melalui kanal resmi BMKG.
Dengan proyeksi cuaca ekstrem yang masih akan berlanjut, kolaborasi antara pemerintah, instansi terkait, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam menghadapi dampak kemarau basah ini.
Koordinasi yang intensif dan langkah antisipasi dini diharapkan dapat meminimalisir kerugian material maupun korban jiwa.
BMKG kembali mengingatkan seluruh lapisan masyarakat untuk tetap waspada dan selalu memantau perkembangan informasi cuaca terbaru.
"Kesiapsiagaan dan respons cepat terhadap peringatan dini bencana merupakan langkah terbaik untuk menjaga keselamatan bersama," pungkas Dwikorita menegaskan.