Profil Chandra M. Hamzah Disorot: Ternyata Pernah Kuliah di Kampus Ternama Ini (Sumber: X/@txtdrkuliner)

Daerah

Siapa Sebenarnya Chandra Hamzah? Pernyataannya Viral Soal Pecel Lele dan Tipikor, Ini Profilnya

Minggu 22 Jun 2025, 13:55 WIB

POSKOTA.CO.ID - Chandra M. Hamzah merupakan salah satu tokoh hukum terkemuka di Indonesia yang dikenal karena integritas dan sikap vokalnya terhadap penegakan hukum yang adil. Ia menempuh pendidikan hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1995.

Karier awal Chandra dimulai sebagai Asisten Pembela Umum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Setelahnya, ia bekerja sebagai Legal Officer di sektor swasta dan berkarier di berbagai firma hukum ternama, seperti Erman Radjaguguk & Associates dan Lubis Ganie Surowidjojo.

Pada tahun 2001, Chandra mendirikan Assegaf Hamzah & Partners, yang kini menjadi salah satu firma hukum papan atas di Indonesia. Reputasinya terus menguat saat ia dipercaya menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007–2011, berkontribusi dalam membentuk budaya antikorupsi yang lebih transparan.

Kini, ia menjadi pengajar dan pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, lembaga pendidikan hukum progresif yang menekankan pada keadilan dan kepastian hukum.

Baca Juga: Soal tentang Belajar Mandiri di Rumah, Kunci Jawaban Post Test Modul 3 PPG 2025 FPPN 3

Kritik Tajam terhadap UU Tipikor: Sidang MK Jadi Panggung Opini Hukum

Pada Rabu, 18 Juni 2025, Chandra hadir sebagai ahli dalam sidang uji materi UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Konstitusi. Ia menyampaikan pandangan kritis terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU tersebut, yang menurutnya terlalu luas dan multitafsir.

“Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, maka penjual pecel lele di trotoar juga dapat dikenakan sanksi tersebut,” ujar Chandra, dikutip dari situs resmi MK.

Pernyataan ini mengejutkan banyak pihak. Ia menjelaskan bahwa berdagang di trotoar merupakan pelanggaran hukum karena menggunakan fasilitas negara tanpa izin. Jika didekati dengan cara berpikir formalistik ekstrem, maka bisa saja dikategorikan sebagai tindakan yang “merugikan keuangan negara”, sebuah unsur penting dalam pasal korupsi.

Analisis: Potensi Bahaya Multitafsir Pasal UU Tipikor

Pasal 2 ayat (1): Kabur dan Rentan Disalahgunakan?

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan:

"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana..."

Masalah utama dalam pasal ini adalah frasa “melawan hukum” dan “dapat merugikan keuangan negara” yang menurut banyak ahli hukum terlalu luas cakupannya. Tanpa definisi yang rigid, aparat penegak hukum dapat dengan mudah menarik siapa saja ke dalam jerat pasal ini.

Pasal 3: Diskresi Bisa Jadi Jerat

Sementara itu, Pasal 3 memberikan ruang diskresi kepada pejabat negara, namun tetap mengandung unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain”. Tanpa klarifikasi rinci, praktik administrasi yang tidak merugikan secara nyata bisa saja dianggap sebagai korupsi, hanya karena tidak sesuai prosedur administratif.

Chandra: Kepastian Hukum Adalah Pilar Perlindungan Rakyat

Chandra menekankan bahwa hukum pidana harus tegas dan jelas, bukan multitafsir. Jika pasal-pasal tersebut tidak direvisi, maka pedagang kecil, aparat rendah, bahkan warga biasa bisa saja dikriminalisasi karena dianggap merugikan negara.

“Jika diartikan tanpa batas, maka siapa saja, bahkan pedagang kaki lima, bisa dikriminalisasi dengan alasan telah merugikan negara,” tegasnya.

Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk meremehkan semangat pemberantasan korupsi, namun untuk memastikan bahwa hukum yang digunakan tidak menjadi alat represi terhadap masyarakat kecil.

Respon Publik: Dukungan dan Kritik

Pernyataan Chandra menuai beragam respons. Di satu sisi, banyak akademisi hukum dan praktisi yang mendukung pandangan tersebut, karena sejalan dengan prinsip “nullum crimen sine lege certa”—tidak ada kejahatan tanpa hukum yang jelas.

Namun, di sisi lain, beberapa kalangan menilai bahwa analogi dengan pedagang pecel lele adalah bentuk penyederhanaan yang dapat mengaburkan substansi semangat antikorupsi.

Terlepas dari kontroversinya, pernyataan itu berhasil memantik diskusi publik yang konstruktif tentang bagaimana undang-undang korupsi seharusnya dirumuskan.

Baca Juga: KPop Demon Hunters, Film Animasi K-Pop dengan Sentuhan Supernatural, Tayang di Mana?

Refleksi dan Tantangan Masa Depan: Antara Revisi dan Implementasi

Indonesia telah lama dikenal sebagai negara yang serius dalam memerangi korupsi, namun permasalahan ketidakpastian hukum menjadi tantangan utama dalam implementasinya. Revisi terhadap UU Tipikor tidak berarti melemahkan pemberantasan korupsi, justru dapat menguatkan keadilan hukum dengan memperjelas batas antara kesalahan administratif dan pidana korupsi.

Sebagai mantan pimpinan KPK, Chandra Hamzah memiliki otoritas moral dan akademik untuk menyuarakan kritik ini. Ia tidak sedang membela pelanggaran hukum, tetapi mengingatkan bahwa penegakan hukum yang tidak tepat bisa merusak rasa keadilan masyarakat.

Pernyataan Chandra M. Hamzah di Mahkamah Konstitusi menjadi momentum penting untuk meninjau ulang pasal-pasal multitafsir dalam UU Tipikor.

Dalam semangat negara hukum, keadilan tidak hanya harus ditegakkan tetapi juga dirumuskan secara adil dan proporsional. Dengan demikian, hukum menjadi alat perlindungan, bukan penindasan.

Tags:
Antikorupsi IndonesiaTindak pidana korupsiPedagang kaki limaMahkamah KonstitusiPasal 2 ayat 1 UU TipikorUU TipikorChandra M. Hamzah

Yusuf Sidiq Khoiruman

Reporter

Yusuf Sidiq Khoiruman

Editor