POSKOTA.CO.ID - Sorotan tajam datang dari aktivis lingkungan Roy Murtadho yang mempertanyakan integritas etis salah satu pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH.
Abdul Fahrur Rozi atau yang lebih dikenal sebagai Gus Fahrur. Kritik ini mencuat setelah diketahui bahwa Gus Fahrur menjabat sebagai komisaris di PT Gag Nikel, sebuah perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan sensitif Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Menurut Roy, posisi tersebut menimbulkan ketidakselarasan dengan prinsip yang selama ini dijunjung tinggi oleh PBNU, yakni "Merawat Jagat, Membangun Peradaban."
Dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan melalui akun media sosialnya @MurtadhoRoy pada 9 Juni 2025, Roy menekankan bahwa keberadaan Gus Fahrur di perusahaan tambang nikel dapat mencederai kredibilitas PBNU sebagai institusi keagamaan yang semestinya berdiri di garda depan pelestarian lingkungan.
“Salah seorang pimpinan PBNU, Gus Fahrur jadi komisaris PT Gag Nikel yang merusak ekosistem Raja Ampat Papua. Bukannya ini bertentangan dengan tagline PBNU hari ini, Merawat jagat membangun peradaban?” ujar Roy.
Baca Juga: Israel Tangkap Kapal Madleen: Greta Thunberg dan Aktivis Dunia Ditahan Saat Bawa Bantuan ke Gaza
Kontradiksi Nilai-Nilai Luhur dan Praktik Ekstraktif
Roy menggarisbawahi bahwa ketidaksesuaian antara peran religius dan posisi korporasi dalam sektor ekstraktif bukan sekadar persoalan moral pribadi, melainkan cerminan dari kontradiksi struktural dalam tubuh PBNU itu sendiri.
“Emang ada merawat jagat dengan merusak lingkungan?” sindir Roy, menyoroti inkonsistensi antara narasi teologis yang digaungkan dan keterlibatan langsung tokoh PBNU dalam industri tambang.
Sebagaimana diketahui, PT Gag Nikel adalah anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan telah lama menjadi sorotan dalam diskursus lingkungan karena beroperasi di wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi serta potensi ekowisata luar biasa, yakni Kepulauan Raja Ampat. Berbagai organisasi lingkungan telah mengkritik aktivitas pertambangan di kawasan tersebut sebagai ancaman terhadap ekosistem laut dan darat yang belum sepenuhnya tereksplorasi.
Kritik terhadap Keterlibatan PBNU dalam Industri Ekstraktif
Tak hanya menyoal personal Gus Fahrur, Roy juga memperluas kritiknya ke arah PBNU secara kelembagaan. Menurutnya, PBNU kini tengah menghadapi krisis konsistensi akibat keterlibatannya dalam industri ekstraktif yang menjadi kontributor utama emisi karbon global.
“Terus terang, PBNU sekarang ini banyak kontradiksi internal. Salah satunya, mau merawat jagat dan bangun peradaban, tapi nerima tambang batubara yang menyumbang 46 persen emisi karbon global. Ditambah sekarang salah satu pimpinannya jadi komisaris nikel,” jelas Roy.
Kritik ini mengarah pada kekhawatiran akan terjadinya transformasi ideologis di tubuh PBNU yang lebih pragmatis, terkooptasi kepentingan ekonomi, dan menjauh dari idealisme keberlanjutan ekologis. Dalam pandangan Roy, hal ini tidak hanya mencoreng nilai moral Islam, tetapi juga melemahkan posisi PBNU sebagai institusi yang dipercaya publik.
Isu Ekologis dan Spiritualitas Islam
Roy menekankan bahwa keterlibatan struktural PBNU dalam proyek industri ekstraktif dapat mengarah pada bentuk baru dari penjarahan alam, sebuah praktik yang sering dikritik dalam teori politik ekologi sebagai "akumulasi primitif."
"Ini namanya PBNU terlibat langsung dalam apropriasi atau penjarahan alam, perluasan geografi penghancuran ruang hidup, dan akumulasi primitif,” katanya.
Ia pun menyayangkan bahwa visi Islam sebagai agama yang menempatkan rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) tampak tidak menjadi acuan dalam kebijakan struktural PBNU.
"Ini secara prinsip bertentangan dengan visi Islam yang menyelamatkan,” tegas Roy.
Objektivitas dan Independensi dalam Ancaman
Lebih lanjut, Roy mempertanyakan apakah PBNU masih memiliki ruang objektif untuk mengkritisi aktivitas perusakan lingkungan, jika tokoh-tokohnya justru memiliki peran struktural dalam dunia korporasi tambang.
“So, apa iya PBNU akan bisa bersikap kritis dengan posisinya saat ini?” ujarnya retoris.
Pertanyaan ini mengandung kritik mendalam terhadap potensi hilangnya independensi PBNU sebagai moral voice dalam urusan publik, khususnya dalam menghadapi masalah lingkungan yang kian mendesak.
Dalam banyak konteks global, tokoh agama berperan besar dalam menggerakkan kesadaran kolektif terhadap pentingnya keberlanjutan ekosistem. Ketika tokoh tersebut justru berafiliasi dengan korporasi ekstraktif, kredibilitas mereka dipertaruhkan.
Tanggapan PBNU dan Gus Fahrur Masih Dinanti
Hingga artikel ini ditulis, baik PBNU maupun Gus Fahrur belum memberikan tanggapan resmi terhadap kritik yang dilayangkan oleh Roy Murtadho.
Keheningan ini turut memperkuat persepsi publik akan adanya konflik kepentingan di tubuh organisasi keagamaan tersebut.
Konteks Politik-Ekonomi Ekstraktif di Papua
Perlu dicatat bahwa Papua Barat Daya, tempat beroperasinya PT Gag Nikel, merupakan kawasan dengan sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam.
Tambang emas, tembaga, dan nikel menjadi bagian dari narasi kolonialisme ekonomi modern di wilayah tersebut. Bagi masyarakat adat dan pegiat lingkungan, aktivitas perusahaan di sana seringkali diidentikkan dengan perampasan ruang hidup dan marjinalisasi komunitas lokal.
Dalam konteks ini, keterlibatan tokoh agama dalam struktur korporasi pertambangan menjadi sangat sensitif dan potensial menimbulkan disonansi moral di tengah masyarakat Muslim Indonesia yang semakin sadar lingkungan.
Kritik yang dilontarkan Roy Murtadho terhadap Gus Fahrur dan PBNU membuka ruang diskusi penting mengenai posisi etis organisasi keagamaan dalam era krisis iklim global.
Dalam menghadapi tantangan ekologis yang semakin kompleks, diperlukan komitmen yang lebih tegas dari institusi keagamaan untuk berdiri di sisi keberlanjutan, bukan sebaliknya.
Keterlibatan dalam industri ekstraktif, terlebih yang beroperasi di wilayah sensitif seperti Raja Ampat, seharusnya menjadi titik refleksi bagi PBNU untuk mengevaluasi arah gerak dan visi keberagamaannya. Apakah PBNU masih dapat dipercaya sebagai pelindung semesta (hârisul-jagat) ketika tokohnya berada dalam lingkaran kekuasaan korporasi?
Hanya waktu dan sikap terbuka dari pihak terkait yang akan menjawab pertanyaan ini.