POSKOTA.CO.ID - Dalam upaya menegakkan kehormatan pribadi sekaligus memberikan efek jera terhadap pelaku penghinaan di ranah digital, Umi Pipik Dian Irawati resmi melaporkan dua akun media sosial ke Polda Metro Jaya, Kamis, 22 Mei 2025.
Laporan tersebut terdaftar dengan nomor LP/B/3437/V/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA dan diajukan langsung oleh Umi Pipik yang didampingi putranya, aktor muda Abidzar Al Ghifari.
Kehadiran mereka di kantor kepolisian menjadi penegasan bahwa publik figur pun memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum.
“Sebagai warga negara, saya punya hak untuk membuat laporan,” ujar Umi Pipik kepada media.
Baca Juga: Cara Ikutan Kuis Akademi Ninja MLBB x Naruto, Bisa Dapat Skin Epic!
Kronologi Kasus: Cuitan Mengandung Bully dan Sarkasme
Permasalahan ini bermula dari sejumlah unggahan di media sosial yang dinilai Umi Pipik sebagai bentuk penghinaan terhadap dirinya.
Menurutnya, cuitan-cuitan tersebut tidak hanya menyerang pribadi, tetapi juga mengarah pada perundungan publik yang berulang.
“Cuitan-cuitan itu lebih kepada pembully-an, bukan hanya komentar, tapi berulang kali dan bernada sarkastik,” ungkapnya. Sikap tersebut kemudian mendorong Umi Pipik untuk menempuh jalur hukum, bukan hanya sebagai bentuk perlindungan diri, melainkan juga untuk mengedukasi masyarakat mengenai batas-batas kebebasan berekspresi di ruang digital.
Efek Jera: Tujuan di Balik Pelaporan
Dalam keterangannya, Umi Pipik menyatakan bahwa laporan ini ditujukan untuk memberikan efek jera terhadap para pelaku.
Ia menekankan pentingnya pembelajaran kolektif bahwa dunia digital bukan ruang bebas tanpa batas, apalagi ketika kebebasan tersebut mencederai kehormatan seseorang.
“Siapa pun, institusi mana pun, bahkan bukan public figure sekali pun, jika mendapatkan perundungan atau penghinaan pasti tidak akan nyaman. Ini bentuk pembelajaran agar tidak sembarangan berkata di media sosial,” ujar Umi Pipik.
Aspek Hukum yang Dilibatkan
Langkah hukum yang ditempuh Umi Pipik tidak dilakukan secara sembarangan. Ia menggandeng kuasa hukum Rendy Anggara Putra, yang kemudian menjelaskan dasar hukum pelaporan.
Dalam kasus ini, dua akun media sosial dilaporkan atas dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 27 ayat (3), yang mengatur tentang penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik. Selain itu, laporan ini juga memperkuat dasar hukum melalui Pasal 310 dan 311 KUHP.
“Laporan resmi sudah dibuat terkait penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik. Kami berharap ini menjadi momentum untuk mempertegas perlindungan hukum di ruang digital,” tegas Rendy.
Pertemuan Klarifikasi dan Sikap Tegas Abidzar
Menariknya, sebelum laporan resmi dibuat, sejumlah pemilik akun media sosial yang dilaporkan telah bertemu dengan Abidzar Al Ghifari, putra Umi Pipik.
Pertemuan tersebut ditujukan sebagai sarana klarifikasi atas unggahan yang dinilai merugikan nama baik keluarga mereka.
Namun, menurut Rendy, pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil yang diharapkan. “Kami tidak melihat penyesalan dari mereka.
Bahkan setelah bertemu, ada yang masih membuat cuitan dengan nada sarkastik. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku seolah kebal hukum,” jelasnya.
Sikap tegas Abidzar terhadap perlakuan buruk terhadap ibunya pun patut diapresiasi. Ia turut mengambil bagian dalam proses hukum dengan menunjuk tim kuasa hukum dan mendampingi Umi Pipik dalam setiap langkah hukum yang diambil. “Saya tidak bisa menerima ibu saya dihina seperti itu. Ini tentang harga diri keluarga kami,” tutur Abidzar.
Baca Juga: Polisi Tangkap Produsen Sinte Tamatan SD di Depok
Urgensi Literasi Digital dan Perlindungan Martabat di Media Sosial
Kasus ini bukanlah yang pertama dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Di era digital yang semakin terbuka, masyarakat sering kali terjebak dalam euforia kebebasan berpendapat tanpa memahami batasan etis dan hukum.
Media sosial yang seharusnya menjadi ruang interaksi positif, justru kerap digunakan untuk menyebar kebencian, hoaks, dan fitnah.
Kasus Umi Pipik menjadi cermin penting bahwa publik figur pun manusia biasa yang berhak atas perlindungan hukum. Selain itu, kasus ini juga menyoroti lemahnya pemahaman masyarakat terhadap UU ITE dan pentingnya literasi digital.
Para pakar hukum menyarankan adanya peningkatan edukasi kepada pengguna media sosial, terutama dalam hal etika berkomentar, batasan hukum ujaran kebencian, serta mekanisme pelaporan yang dapat diakses oleh masyarakat umum.
Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat diharapkan lebih aktif dalam membangun kesadaran hukum di kalangan pengguna internet.
Etika dan Hukum: Dua Pilar dalam Media Sosial Sehat
Menjadi bagian dari ekosistem digital berarti menjadi bagian dari komunitas yang saling menghormati. UU ITE hadir bukan untuk membungkam kebebasan berpendapat, tetapi untuk memastikan bahwa kebebasan itu tidak merugikan pihak lain.
Kombinasi antara edukasi etika dan penegakan hukum menjadi kunci utama membangun ruang digital yang sehat.
Penindakan seperti yang dilakukan oleh Umi Pipik memberikan contoh konkret bahwa publik figur pun dapat memperjuangkan hak-haknya dengan cara yang legal dan bermartabat.