POSKOTA.CO.ID - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menjadi sorotan publik setelah mengusulkan rencana mengirim siswa bermasalah ke barak militer.
Ide ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, mulai dari psikolog anak, pengamat militer, hingga praktisi pendidikan.
Rencana tersebut disebut sebagai bagian dari program pembinaan karakter yang bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Siswa yang terpilih akan menjalani pelatihan selama enam bulan di barak militer, dengan prioritas bagi mereka yang sulit dibina, terlibat pergaulan bebas, atau indikasi kriminal.
Baca Juga: Durasi Waktu Pembinaan Siswa di Barak Militer, Dedi Mulyadi: Tergantung Perkembangan
"Selama enam bulan siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal. TNI yang akan menjemput langsung siswa ke rumah untuk dibina karakter dan perilakunya," tegas Dedi.
Pendidikan Karakter atau Pendisiplinan Berlebihan?
Psikolog anak Intan Erlita, M.Psi, menyatakan bahwa ide ini tidak sepenuhnya salah, namun perlu pertimbangan mendalam. Menurutnya, tidak semua kenakalan siswa memerlukan intervensi militer.
“Jelas tidak semua anak nakal (dikirim ke barak militer) dan anak nakal ini kan general. Harus dilihat level nakalnya seperti apa,” ujar Intan. Ia mencontohkan, pelanggaran seperti menyontek belum tentu memerlukan pembinaan di barak.
Namun, untuk kasus tawuran, perundungan parah, atau tindakan kriminal, intervensi semacam ini bisa dipertimbangkan.
“Untuk kasus-kasus seperti ini, boleh saja. Karena artinya mereka memiliki masalah dengan karakter,” tambahnya. Namun, Intan mengingatkan bahwa pembentukan karakter tidak instan dan memerlukan pendampingan konsisten.
"Karena pada dasarnya, nakal adalah nakal pintar yang tidak tertangani dengan baik," pungkasnya.
Baca Juga: Menteri HAM Menilai Program Pembinaan Karakter Siswa di Barak Ala Dedi Mulyadi Tidak Langgar HAM
Kekhawatiran Risiko Psikologis
Di sisi lain, Khairul Fahmi dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menilai kebijakan ini berisiko tinggi dari segi psikologis. Ia menegaskan bahwa siswa bermasalah membutuhkan pendekatan pedagogis, bukan militeristik.
"Yang dibutuhkan siswa bukan barak, tapi ruang belajar yang memulihkan. Kalau yang bermasalah adalah sikap, maka pendekatannya harus bersifat pedagogis dan reflektif, bukan koersif,” tegas Fahmi.
Ia juga menyoroti bahwa masalah seperti tawuran, kecanduan game, atau pembangkangan adalah persoalan psikososial yang lebih tepat ditangani dengan pendampingan, bukan penertiban militer.
Senada dengan Fahmi, pengamat pendidikan Cecep Darmawan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menilai kebijakan ini kurang tepat. Menurutnya, penanganan siswa bermasalah harus disesuaikan dengan akar masalahnya, bukan diserahkan ke lembaga lain.
“Anak nakal itu tidak bisa dipukul rata, setiap kasus punya latar belakang berbeda. TNI pun bukan solusi untuk semua jenis masalah," ujarnya.
Cecep menawarkan alternatif berupa Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) yang lebih bersifat edukatif, alih-alih pelatihan militer penuh.
Baca Juga: Rencana Dedi Mulyadi Kirim Orang Dewasa ke Barak Militer, DPR: Tak Semua Masalah Beres oleh Tentara
Polemik yang Belum Usai
Rencana Dedi Mulyadi ini masih terus menuai perdebatan. Di satu sisi, ada urgensi untuk membentuk karakter disiplin pada generasi muda.
Namun di sisi lain, pendekatan militer dinilai berpotensi menimbulkan trauma dan tidak menyelesaikan masalah secara holistik. Apakah kebijakan ini akan benar-benar diterapkan atau direvisi? Publik masih menunggu perkembangan lebih lanjut.