Pernyataan tersebut menggambarkan tekadnya untuk mendapatkan kebebasan berpikir meskipun terbatasi oleh norma dan tuntutan orang tua.
Tak hanya itu, Kartini juga menolak tegas praktik poligami. Dalam surat kepada Stella tertanggal 6 November 1899, ia mengecam poligami sebagai “dosa karena telah menyakiti manusia” dan menganggapnya sebagai simbol penindasan serta pelecehan terhadap martabat perempuan.
Lebih jauh, Kartini melihat pendidikan sebagai kunci pengembangan “semangat dan jiwa” perempuan.
Baca Juga: 21 April Diperingati Hari Kartini, Begini Sejarah dan Perannya di Era Kemerdekaan
Pendidikan Kartini
Bagi Kartini, pendidikan tidak hanya membentuk intelektualitas, melainkan juga karakter sehingga perempuan dapat berkontribusi nyata dalam memperbaiki kondisi sosial.
"Kartini lebih menekankan pada pendidikan bagi perempuan karena menurutnya perempuan bukan hanya sebagai pendukung sebuah peradaban, tetapi karena perempuan membawa pengaruh kualitas manusia," tulis Sri Mastuti dkk.
"Dari perempuanlah manusia menerima pendidikan paling awal, belajar berbicara, belajar merasakan, belajar berpikir dan belajar sepanjang hayat," lanjutnya.
Sri Mastuti dkk menegaskan bahwa gagasan emansipasi perempuan Kartini, meskipun pada masa itu dianggap “gila” oleh sebagian kalangan, secara perlahan mengikis praktik mengekang lingkungan dan tradisi.
Baca Juga: Polda Metro Ungkap Industri Rumahan Tembakau Sintetis di Jalan Kartini Jakpus
"Tentu saja, pemikiran tersebut (emansipasi perempuan) dianggap gila dan banyak ditentang terutama oleh kalangan priyayi, bahkan Kartini dan saudari-saudarinya yang berpikiran sama sering diasingkan," tulis Sri Mastuti dkk.
"Namun, pemikirannya terus bergulir dan menginspirasi banyak wanita Jawa untuk berani menunjukkannya di depan umum," lanjutnya.
Dalam konteks sejarah, pemikiran Kartini tidak hanya sekadar kritik atas praktik pernikahan yang diatur dan poligami, namun juga merupakan seruan untuk memperjuangkan hak asasi perempuan melalui pendidikan dan kesetaraan dalam setiap aspek kehidupan.