JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa Rusia akan mendukung klaim teritorial negara-negara proksinya di Ukraina timur. Secara dramatis, hal ini meningkatkan kemungkinan perang yang lebih besar dalam waktu dekat.
Hal ini mengingatkan apa yang dikecam oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden sebagai upaya untuk mengukir "sebagian besar" negara itu.
“Siapa dalam nama Tuhan yang menurut Putin memberinya hak untuk mendeklarasikan apa yang disebut negara baru?," kata Biden dilansir dari The Guardian, Rabu (23/2/2022).
Biden mengatakan, pihaknya mengumumkan sanksi baru terhadap dua bank Rusia dan langkah-langkah untuk menghentikan Rusia meningkatkan modal di pasar Barat.
Dalam langkah dramatis Jerman menghentikan proses persetujuan untuk pipa gas Nord Stream 2 dari Rusia.
Sementara Uni Eropa dan Inggris mengumumkan sanksi terhadap Rusia. Mereka menunjukkan tekad Barat bersama dengan Menteri Luar Negeri Uni Eropa melarang perdagangan obligasi Rusia di pasar Eropa.
Boris Johnson mengungkapkan paket pembekuan aset pada lima bank Rusia dan tiga individu dengan kekayaan bersih tinggi tetapi menghadapi kritik dari anggota parlemennya karena tidak melangkah lebih jauh.
Inggris, AS, dan Uni Eropa memperjelas bahwa mereka siap untuk meningkatkan sanksi sejalan dengan tindakan Rusia.
Pada Selasa malam, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan pertemuan dengan timpalannya dari Rusia, Sergei Lavrov, yang dijadwalkan pada Kamis tidak akan dilanjutkan.
“Sekarang kita melihat invasi dimulai dan Rusia telah memperjelas penolakannya terhadap diplomasi, tidak masuk akal untuk melanjutkan pertemuan itu saat ini,” katanya.
Dengan mengabaikan ancaman isolasi ekonomi, Putin memperbesar cakupan intervensi militer Rusia di Ukraina. Berbicara pada konferensi pers, dia mengatakan bahwa Rusia mengakui perbatasan yang diklaim oleh "republik rakyat" yang memproklamirkan diri yang berada jauh di luar garis depan saat ini dan mencakup wilayah substansial, termasuk kota-kota besar dan kecil yang masih di bawah kendali pemerintah Ukraina.